Bagi pecinta dunia masak-memasak, apalagi yang suka menikmati drama di setiap episode program MasterChef Indonesia sejak season pertama yang mulai tayang pada 2011 silam, tentu tidak akan lupa dengan sosok Agus Gazali Rahman, Urang Banjar yang kelak lebih dikenal sebagai Chef Agus Sasirangan, setelah runner-up alias pemenang kedua season pertama MasterChef Indonesia itu akhirnya berhasil mewujudkan mimpinya menjadi chef profesional.
Sejak saat itu, nama Chef Agus Sasirangan, "si-anak kampung" yang sejak kecil lebih suka bereksperimen di dapur ibunya daripada "permainan" anak-anak lainnya itu menjadi simbol kesuksesan sekaligus inspirasi hidup dan teladan bagi ribuan bahkan jutaan pemuda yang bermimpi menjadikan passion mereka sebagai pintu masuk menuju kesuksesan.Â
"Kesuksesan itu seperti masakan! Butuh bahan yang baik, api yang pas dan tangan yang terampil untuk menyatukannya,"Â (Agus Sasirangan)Â
Bagaimana tidak, keberhasilannya menaklukkan panggung MasterChef Indonesia sekaligus mengukir nama besar di dunia kuliner nasional hingga diakui sebagai chef profesional yang juga kondang di lingkungan bisnis kuliner para pesohor tanah air, hingga sekarang juga bertransformasi menjadi penulis, motivator, pengusaha kuliner dan juga aktivis sosial, jelas bukan karena kebetulan!
Tapi semuanya melalui proses yang sangat panjang, berliku dan pastinya memerlukan ridhaNYA, doa dan dukungan orang tua, juga strategi jitu untuk mempertemukan dan meramukan bakat alamiah, minat dan tekad membara serta "pendidikan bermutu yang dipersiapkan dengan tepat".
Bakat dan Minat yang Lahir di Dapur Sederhana
Selayaknya Urang Banjar kebanyakan, Agus kecil sudah dibiasakan mengenal Tuhannya oleh lingkungan relijiusnya di Marabahan, Ibu Kota Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan melalui berbagai aktifitas keseharian di keluarga sederhananya, terutama kedisipilinan salat 5 waktu dan kegemarannya belajar mengaji bersama teman-temannya di langgar setiap sore sampai menjelang Maghrib.
Setelah salat Subuh, ibunya yang mempunyai warung masakan khas Banjar sudah memperkenalkannya pada berbagai aktifitas dapur, dari mengupas bawang, memotong sayur, sampai mencampur bumbu untuk soto Banjar juga masakan lainnya, hingga Agus kecil selalu merasakan getar kegembiraan dan kebahagiaan setiap berkutat dengan bumbu dan bahan dapur saat membantu ibunya.
Dari dapur, bakat alaminya menemukan momentum dan juga media bertumbuh. Ibu yang menjadi guru pertama, "mendidiknya" mengenal dunia kuliner, khususnya masakan khas Banjar berikut kelengkapan dan juga manajemen pengolahannya secara sederhana yang ternyata semakin membuatnya jatuh cinta dengan dunia masak-memasak.
"Ketika teman-teman saya main bola, saya malah keasyikan bereksperimen untuk menyalurkan rasa ingin tahu di dapur, seperti menggoreng ikan patin yang saya coba bumbui dengan kunyit dan teman-temannya," canda Agus dalam sebuah podcast kuliner yang juga menyebut aktifitas masak-memasak, baginya sudah selayaknya panggilan jiwa, seni yang membebaskan!
Apalagi, saat itu ibunya yang juga suka menikmati acara masak-memasak di TV, sering menonton aksi Chef Rudi Choirudin, Bu Sisca Soewitomo dan lain-lainnya, sabil memasak di dapur atau saat sedang santai menunggu pembeli datang ke warungnya yang secara tidak langsung memperkenalkannya pada dunia masak-memasak profesional.
Rumah Makan Mie Bancir Khas Banjar Milik Chef Agus Sasirangan | @kaekaha

Sekolah, Katalisator yang Mengasah Impian
Beranjak di usia remaja, berkat "didikan" keluarga dan lingkungannya, Agus semakin yakin pada minatnya di dunia masak-memasak yang semakin mengerucut. Tapi ia menyadari, untuk bisa melangkah lebih jauh apalagi menjadi seperti Chef Rudi Choirudin yang sering dilihatnya di TV pasti memerlukan bimbingan dan pendidikan bermutu yang tepat agar lebih terarah.Â
Hingga akhirnya, dengan keyakinan bulat Agus remaja benar-benar memilih jurusan Tata Boga, program keahlian Usaha Jasa Restoran di SMK Negeri 4 Banjarmasin, sebagai "pendidikan bermutu" untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Uniknya, meskipun orangtuanya mendukung penuh, tapi sebagian besar keluarga besar dan juga lingkungannya justeru kurang mendukung keputusannya melanjutkan ke sekolah jurusan tata boga ini.Â
Alasannya, meski koki dan chef laki-laki pada era 90-an sudah mulai banyak yang seliweran di TV nasional, tapi stereotip jurusan memasak yang identik dengan perempuan saat itu memang masih jauh lebih kuat, sehingga menjadi hal yang tabu alias belum lazim kalau anak laki-laki memilih jurusan ini.
The show must go on! Tekad Agus sudah bulat memilih jurusan tata boga yang disebutnya sebagai tempat terbaik menjadi diri sendiri selayaknya ikan yang menemukan kolam terbaiknya, hingga di sekolah ini semua potensinya secara perlahan semakin tampak dan terasah dengan baik dan benar.