Ada saat dalam hidup ketika tubuh menyerah, tetapi jiwa justru terbangun. Apa yang kita anggap akhir, bisa jadi hanyalah pintu masuk menuju pemahaman terdalam tentang siapa diri kita. Kisah Anita Moorjani bukan sekadar tentang sembuh dari kanker, melainkan tentang lahir kembali sebagai manusia yang menemukan hakikat cinta, keberanian, dan jati diri.
Anita Moorjani, seorang perempuan keturunan India yang lahir di Singapura dan tumbuh di Hong Kong, menjalani perjalanan hidup penuh pergulatan batin. Sebagai minoritas, ia kerap menjadi korban perundungan, dan sebagai anak dari keluarga India tradisional, ia pun mengalami tekanan budaya yang menuntut penyesuaian pada norma yang tidak selalu sejalan dengan hatinya. Pergulatan panjang itu terus menorehkan luka hingga akhirnya, pada tahun 2002, ia divonis menderita limfoma Hodgkin stadium lanjut.
Empat tahun kemudian, tepat 2 Februari 2006, tubuhnya menyerah. Ia koma, dan dokter menyatakan tidak ada lagi harapan. Organ-organ vitalnya sudah tidak berfungsi. Tumor sebesar lemon menyebar ke sistem limfatik. Secara medis, ia tinggal menunggu waktu. Tetapi justru di ambang kematian itu, Anita mengalami apa yang disebut near death experience (NDE)---pengalaman mendekati kematian.
Dalam kesadaran lain yang begitu luas, ia merasakan kebebasan total dari rasa sakit. Ia mengaku melihat ayahnya yang sudah meninggal, merasakan cinta tanpa syarat, dan memahami bahwa hakikat manusia bukanlah tubuh semata, melainkan kesadaran yang jauh lebih besar. Yang mengejutkan, setelah 30 jam koma, Anita sadar kembali, dan dalam hitungan hari hingga minggu, kanker yang menggerogotinya lenyap tanpa jejak. Para dokter takjub, sebagian mencoba menjelaskannya secara medis, sebagian lainnya menyebut ada peran dimensi psikologis dan spiritual.
Pengalaman inilah yang kemudian ia tuangkan dalam buku "Dying to Be Me: My Journey From Cancer, To Near Death, To True Healing", yang menjadi buku terlaris New York Times dan telah menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia.
Yang menarik dari kesaksian Anita Moorjani adalah pesan sederhana namun revolusioner: "Cintai dirimu sepenuhnya, itu tujuan hidupmu di sini." Baginya, penyakit dan penderitaan sering lahir dari ketakutan---takut gagal, takut mengecewakan, takut tidak diterima. Ia menyadari bahwa banyak tahun dalam hidupnya dihabiskan untuk memenuhi ekspektasi orang lain dan menekan jati diri. Dalam kondisi mati suri, ia melihat dengan gamblang bahwa akar penyakitnya bukan hanya biologis, tetapi juga spiritual: pengkhianatan terhadap dirinya sendiri.
Pesan ini relevan bagi dunia modern yang penuh tekanan, kompetisi, dan kecemasan. Kita hidup dalam budaya yang sering mengukur harga diri berdasarkan pencapaian, harta, atau pengakuan sosial. Tidak heran banyak orang hidup dalam ketakutan---takut tidak cukup baik, takut gagal, takut ditinggalkan.
Namun, dari pengalaman Anita, kita belajar bahwa pilihan sejati ada pada kita: menjalani hidup dari tempat ketakutan, atau dari tempat cinta. Cinta kepada diri sendiri bukanlah egoisme, melainkan fondasi untuk mencintai sesama.