Memahami Konteks Kejadian Runtuhan di Ponpes Al Khoziny
Runtuhnya bangunan di Pondok Pesantren Al Khoziny mengejutkan banyak pihak. Bangunan yang seharusnya menjadi tempat belajar dan beraktivitas para santri justru berubah menjadi tumpukan puing dalam hitungan detik. Peristiwa seperti ini bukan sekadar masalah teknis konstruksi, melainkan juga tantangan besar bagi tim penyelamat atau SAR (Search and Rescue). Banyak masyarakat bertanya-tanya, mengapa ketika alat berat seperti crane sudah tersedia, tim tidak langsung menggunakannya untuk mengangkat beton dan mempercepat evakuasi?
Di lapangan, kenyataannya jauh lebih kompleks. Tim SAR harus berhadapan dengan kondisi yang sangat dinamis: material bangunan yang rapuh, risiko runtuhan susulan, serta korban yang kemungkinan masih terjebak di sela-sela puing. Kesalahan satu langkah saja bisa membuat operasi penyelamatan berubah menjadi bencana baru. Karena itu, keputusan penggunaan crane tidak bisa dilakukan sembarangan.
Pada kasus Ponpes Al Khoziny, runtuhan bangunan menunjukkan pola pancake collapse. Artinya, setiap lantai bangunan ambruk menimpa lantai di bawahnya, hingga membentuk tumpukan berlapis-lapis beton, besi, dan material lain. Pola ini sangat berbahaya karena hampir tidak ada ruang kosong yang tersisa, berbeda dengan runtuhan lain yang masih bisa membentuk "void space" atau ruang penyelamat. Kondisi ini menuntut strategi khusus yang jauh lebih hati-hati.
Bagi masyarakat awam, crane terlihat seperti solusi instan: angkat beton, bebaskan korban. Namun bagi tim SAR, crane justru bisa memperburuk keadaan jika digunakan tanpa perhitungan matang. Beban besar dari alat berat, getaran yang ditimbulkan, hingga pergeseran struktur bisa memicu keruntuhan lanjutan yang memakan korban lebih banyak. Itulah sebabnya operasi SAR pada pancake collapse seperti di Ponpes Al Khoziny harus dilakukan bertahap, dimulai dari stabilisasi, pembongkaran manual, hingga penggunaan crane secara terbatas hanya jika diperlukan.
Apa Itu Pancake Collapse dalam Dunia SAR
Pola pancake collapse adalah salah satu bentuk keruntuhan bangunan yang paling mematikan dan kompleks. Bayangkan setumpuk piring yang jatuh menimpa satu sama lain---itulah gambaran paling sederhana dari pola ini. Lantai demi lantai runtuh secara vertikal, menekan lantai di bawahnya, sehingga korban yang berada di dalam bangunan hampir tidak punya ruang untuk bergerak. Dalam kondisi ekstrem, seluruh ruang kosong di dalam bangunan bisa benar-benar hilang.
Jika kita bandingkan dengan pola runtuhan lain, pancake collapse jauh lebih berbahaya. Pada lean-to collapse, misalnya, masih ada ruang segitiga di bawah bagian yang miring, yang bisa menjadi tempat berlindung korban. Pada V-shape collapse, ada kemungkinan korban selamat di sisi kanan atau kiri runtuhan. Namun, pada pancake collapse, hampir semua lapisan saling mengunci dan menekan dengan kekuatan penuh.
Risiko unik dari pancake collapse adalah material yang saling mengunci. Slab beton, kolom, dan balok tidak hanya jatuh menimpa, tetapi juga saling menopang dalam posisi yang tidak stabil. Begitu satu bagian digerakkan tanpa penopang, seluruh struktur bisa bergeser turun, menimbulkan runtuhan susulan. Bagi tim SAR, inilah tantangan terbesar: bagaimana mengevakuasi korban tanpa menimbulkan bahaya tambahan.
Contoh paling terkenal dari pancake collapse adalah runtuhnya gedung World Trade Center di New York pada 2001. Walaupun penyebab utamanya berbeda, pola runtuhan vertikal bertingkat yang saling menghantam menunjukkan karakteristik pancake collapse. Di Indonesia, beberapa kasus gempa bumi juga menampilkan pola serupa, di mana gedung-gedung bertingkat ambruk rata lantai akibat lemahnya struktur penopang.
Risiko dan Bahaya Menggunakan Alat Berat Secara Tergesa-Tergesa
Banyak orang berasumsi bahwa alat berat selalu mempercepat proses evakuasi. Faktanya, dalam kasus pancake collapse, justru sebaliknya. Ada tiga bahaya utama yang harus dipahami sebelum mengoperasikan crane atau alat berat lain:
Potensi Runtuhan Susulan
Ketika crane mengangkat satu slab beton besar, beban yang tadinya ditopang oleh beton tersebut akan dialihkan ke bagian lain dari runtuhan. Jika bagian lain tidak kuat, maka bisa langsung runtuh, menimpa korban atau bahkan petugas SAR. Risiko ini sangat besar pada pancake collapse, karena hampir semua elemen berada dalam kondisi rapuh.