Saat HPP dan HET Jadi Benteng Terakhir Kedaulatan Pangan, Pengawasan Jangan Sampai Kendor!
"Kedaulatan pangan bukan sekadar menanam, tapi memastikan yang menanam tetap hidup layak."
Oleh Karnita
Ketika Subsidi Menjadi Taruhan Keadilan Pangan
Bisakah negara berdiri tegak tanpa memastikan rakyatnya bisa makan dengan harga yang adil? Pertanyaan itu kembali menggema setelah pernyataan tegas Menteri Pertanian sekaligus Kepala Badan Pangan Nasional, Andi Amran Sulaiman, pada Pikiran Rakyat (14 Oktober 2025) yang menuntut pengawasan ketat terhadap harga pangan bersubsidi senilai Rp150 triliun. Isu ini bukan semata soal angka, tapi soal nasib petani dan daya beli konsumen yang kini sama-sama berada di ujung keseimbangan rapuh.
Dalam rapat perdana usai serah terima jabatan Kepala Bapanas, Amran menegaskan dua kata kunci: mutlak dan pengawasan. Ia menekankan pentingnya menjaga petani dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan melindungi konsumen lewat Harga Eceran Tertinggi (HET). Dalam konteks ekonomi pangan yang kerap dipenuhi fluktuasi dan distorsi pasar, pernyataan ini bukan sekadar instruksi administratif, melainkan pesan kebijakan yang menyentuh inti keadilan sosial.
Penulis tertarik mengulas isu ini karena relevansinya melampaui urusan teknis pertanian: ia menyoal sistem keadilan ekonomi dan tata kelola subsidi di negeri agraris. Ketika harga pangan menjadi medan tarik-menarik kepentingan antara negara, pasar, dan rakyat kecil, maka menjaga keseimbangannya adalah ujian sejati kedaulatan bangsa.
Menjaga Petani, Mengamankan Akar Ketahanan Bangsa
Kebijakan HPP sejatinya bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan bentuk keberpihakan negara kepada petani. Dalam rantai pasok pangan, petani sering menjadi pihak paling rentan---biaya produksi naik, cuaca tak menentu, sementara harga jual ditentukan pasar. Melalui HPP, negara hadir memberi jaminan minimal agar hasil kerja keras mereka tak dihargai sekadar "harga belas kasihan."
Namun dalam praktiknya, pelaksanaan HPP kerap tersendat di lapangan. Banyak daerah belum memiliki mekanisme pembelian yang efisien, sementara petani tak punya daya tawar terhadap tengkulak. Inilah celah yang dimaksud Amran: pengawasan harus ketat agar intervensi pemerintah benar-benar menjangkau mereka yang menanam, bukan justru berhenti di meja birokrat atau pedagang besar.