Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan hanya sekadar persoalan moral, tetapi juga menjadi cermin lemahnya sistem perlindungan sosial di tingkat lokal. Kabupaten Sidoarjo, yang dikenal sebagai salah satu daerah maju di Jawa Timur, justru menghadapi situasi darurat dalam hal kekerasan berbasis gender.
Menurut data dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Sidoarjo, kasus kekerasan terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2019 tercatat 155 kasus, dan pada 2023 melonjak menjadi 220 kasus, terdiri dari 83 korban perempuan dan 137 korban anak. Sebagian besar pelaku justru berasal dari lingkungan terdekat seperti ayah kandung, ayah tiri, paman, hingga kakek. Fakta ini menunjukkan bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman, justru menjadi lokasi terjadinya kekerasan.
Lebih memprihatinkan lagi, jenis kekerasan yang terjadi semakin beragam. Tidak hanya kekerasan fisik dan psikis, tetapi juga kekerasan seksual serta kekerasan berbasis digital seperti cyberbullying dan eksploitasi online terhadap anak.
⚠️ Mengapa Kekerasan Masih Terjadi?
Dari hasil kajian dan laporan UPTD PPA, terdapat empat faktor utama penyebab tingginya angka kekerasan di Sidoarjo:
1. Ketidakharmonisan keluarga. Perceraian, konflik rumah tangga, dan komunikasi yang buruk sering memicu tindak kekerasan.
2. Minimnya edukasi dan kesadaran masyarakat. Masih banyak warga yang menganggap kekerasan sebagai hal “biasa”.
3. Penggunaan teknologi tanpa pengawasan. Gadget yang digunakan anak-anak tanpa kontrol orang tua membuka celah untuk kejahatan online.
4. Lemahnya sistem pelaporan dan perlindungan di tingkat desa. Banyak korban enggan melapor karena takut stigma sosial atau tekanan ekonomi.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo tidak tinggal diam. Melalui Dinas P3AKB bersama TP PKK dan Polresta Sidoarjo, berbagai langkah preventif dan responsif mulai digencarkan, antara lain: