Bayi Dugong di Alor, Saat Laut Mengajarkan Harmoni
“Ketika laut bicara lewat napas seekor bayi dugong, ia sesungguhnya sedang menuturkan tentang keseimbangan yang rapuh antara manusia dan alam.”
Oleh Karnita
Ketika Laut Menyampaikan Pesan Lembutnya
Pernahkah kita berpikir, bagaimana laut mengekspresikan kabar baiknya? Pada Jumat, 10 Oktober 2025, Kompas.com menurunkan laporan berjudul “Bayi Dugong Terlihat di Perairan Alor, Konservasi Berbasis Masyarakat Jadi Kunci”. Sebuah kisah yang bukan sekadar dokumentasi, tetapi juga simbol tentang bagaimana harmoni ekologis masih mungkin terjadi.
Kabar kelahiran bayi dugong itu menumbuhkan harapan di tengah berita tentang kerusakan habitat laut dan maraknya pariwisata eksploitatif. Di perairan Pantai Mali, Alor, Nusa Tenggara Timur, muncul seberkas cahaya kecil yang mengingatkan bahwa konservasi tak melulu urusan ilmuwan, melainkan juga buah dari kearifan lokal nelayan dan masyarakat pesisir.
Sebagai penulis, saya tertarik karena peristiwa ini merefleksikan hal mendasar: bahwa keberhasilan konservasi tak hanya diukur dari populasi hewan langka, tapi juga dari kedalaman relasi antara manusia dan habitatnya. Bayi dugong itu bukan hanya anugerah biologis, melainkan tanda keberhasilan etika ekologis yang tumbuh dari bawah.
1. Bayi Dugong dan Simbol Harapan di Tengah Laut
Kelahiran bayi dugong di Alor bukan sekadar catatan ilmiah. Ia merupakan representasi dari regenerasi ekosistem laut yang masih mampu bertahan di tengah tekanan aktivitas manusia. Dalam video yang direkam nelayan, induk dugong Melati dan pejantan Mawar terlihat berenang dengan lembut, menjaga si kecil dari kapal yang melintas.
Fenomena itu memberi pesan simbolis: alam tahu cara melindungi dirinya jika manusia memberi ruang untuk pulih. Kehadiran bayi dugong menjadi semacam “indikator alami” bahwa kualitas padang lamun di perairan itu masih terjaga dengan baik. Artinya, ada keseimbangan antara aktivitas masyarakat dan daya dukung ekosistem.