Kita sering terjebak duel yang salah, yakni membela guru habis-habisan atau membenarkan murid karena "hak anak". Padahal dua-duanya bisa keliru sekaligus bisa benar, tergantung cara kita melihat pendidikan. Kasus viral penamparan siswa karena merokok membuka luka lama sehingga sekolah masih bingung menyeimbangkan disiplin, martabat manusia, dan target "Indonesia Emas".
Esai ini mencoba menimbang perkara secara jernih dan berimbang, mencakup apa itu pendidikan berkualitas untuk Indonesia Emas 2045, bagaimana etika siswa seharusnya dibentuk, dan inovasi logis agar kasus serupa tidak berulang.
Data mutakhir menunjukkan urgensi pembenahan. KPAI menerima 2.057 pengaduan sepanjang 2024; sebanyak 954 ditindaklanjuti sampai terminasi. Fakta ini menandakan masalah sistemik, bukan insiden terpisah (KPAI, 2025).
Di ranah pendidikan, JPPI mencatat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan pada 2024, naik lebih dari 100% dibanding 2023 (DetikEdu, 2024; KBR, 2024).
Pada saat yang sama, bukti internasional menegaskan bahwa iklim sekolah yang aman dan rasa memiliki berkorelasi positif dengan capaian akademik dan kesejahteraan murid; ini prasyarat kualitas, bukan bonus (OECD, 2024a; OECD, n.d.).
Di Balik Seragam: Guru dan Murid Tetap Manusia
Pertama, mari akui realitas. Guru adalah manusia. Mereka membawa beban administrasi, target kurikulum, ekspektasi orang tua, dan kultur sekolah yang menekan. Ketika berhadapan dengan pelanggaran terang-terangan, misalnya merokok di lingkungan sekolah, emosi bisa meledak. Namun di sisi lain, murid juga manusia yang masih belajar menata dorongan, ingin diakui kelompok, dan belum matang dalam kontrol diri. Di titik ini, pendidikan seharusnya hadir sebagai jembatan, bukan palu.
Tiga Pilar Mutu: Keselamatan, Karakter, Kompetensi
Kedua, pendidikan berkualitas bukan hanya rapor penuh nilai tinggi, melainkan ekosistem yang menumbuhkan tiga hal: keselamatan, karakter, dan kompetensi.
- Keselamatan berarti zero tolerance terhadap kekerasan fisik/psikis. Ini senapas dengan Permendikbudristek No. 46/2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan.
- Karakter berarti kejujuran, tanggung jawab, dan etika publik, termasuk patuh pada aturan kawasan tanpa rokok.
- Kompetensi berarti kemampuan akademik, literasi, dan keterampilan hidup, yakni arah yang ditekankan Kurikulum Merdeka dan Profil Pelajar Pancasila (Kemdikbudristek, 2022).
Sekilas Data
Ketiga, data singkat berikut menegaskan urgensi perbaikan sistem.
- Skala masalah. KPAI melaporkan 2.057 pengaduan sepanjang 2024 dengan 954 terminasi; selebihnya ditangani via rujukan/psikoedukasi (KPAI, 2025).
- Lonjakan di sekolah. JPPI mendata 573 kasus kekerasan di sekolah/pesantren pada 2024, naik >100 persen dari 2023 (DetikEdu, 2024; KBR, 2024).
- Dampak iklim sekolah. PISA/OECD menunjukkan rasa aman dan belonging berhubungan positif dengan performa dan kesejahteraan murid (OECD, 2024a; OECD, n.d.).
- Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan pencegahan merokok. WHO mendorong pendekatan "whole - of - school" (kebijakan, edukasi, dukungan berhenti, penegakan) untuk kampus bebas nikotin/tembakau; pendekatan ini relevan menangani kasus merokok tanpa kekerasan (WHO, 2023).
Masalah kita sering muncul ketika satu unsur dikorbankan demi yang lain. Demi "ketertiban", sebagian sekolah masih mewarisi pola hukuman fisik. Demi "kebebasan", sebagian pihak memaklumi pelanggaran etika. Dua-duanya salah arah. Indonesia Emas butuh rakyat yang taat aturan tanpa kekerasan, berani menegur tanpa merendahkan, dan mau belajar tanpa dipaksa.
Disiplin Tanpa Kekerasan
Keempat, bagaimana dengan "murid nakal"? Pelanggaran seperti merokok bukan perkara sepele. Ini terkait kesehatan, budaya geng, dan kedisiplinan. Namun menanggapi pelanggaran dengan tamparan, apalagi di ruang publik, akan merusak sendi pendidikan: martabat, rasa aman, dan kepercayaan. Disiplin positif menuntut konsekuensi yang jelas, konsisten, dan memulihkan, bukan mempermalukan (OECD, 2024a).