"Pokoknya kamu tenang saja Wit, semua sudah disiapkan. Kamu tinggal bawa badan saja.." bisik Pak Jono. Prawito hanya manggut-manggut saja. Dirinya belum sepenuhnya memahami maksud Pak Jono, sementara peluh membasahi wajah dan lehernya yang mulai menghitam terbakar sinar matahari.
Prawito, mantan preman pasar bertubuh lumayan kekar. Dirinya sudah mulai bertobat, pelan-pelan. Mencari sesuap nasi dengan menjadi tukang parkir di perempatan pasar Kamis. Meskipun sudah tak menjadi preman lagi namun masih banyak orang yang menganggapnya seperti itu. Prawito masih saja membuat orang-orang takut jika berurusan dengannya.
"Kamu ragu, ndak percaya ya? Atau kalo kamu mau nanya soal gajinya berapa, yuk aku temeni kamu nanya sama Pak Kades.."bujuk Pak Jono setengah berbisik. Prawito mengangguk. Ia segera mengusap peluh yang masih mengalir di wajahnya itu dengan handuk kecil. Ia manut saja saat Pak Jono mengajak ke rumah Pak Kades. Prawito hanya mampu membayangkan pundi-pundi rupiah akan mengalir ke kantongnya lebih banyak lagi.
-------------
Mobil sedan mewah itu memasuki halaman rumah orang nomor satu di kabupaten Nusa Jaya. Prawito ada di dalamnya, duduk di samping sang bupati. Mobil berhenti tepat di depan teras rumah, Prawito segera turun untuk membuka pintu bagi sang bupati. Ia tergopoh-gopoh menuju pintu depan rumah itu, membukanya lagi untuk sang bupati.
Hari-hari Prawito sekarang dipersembahkan untuk sang bupati. Ya, Prawito sang ajudan bupati. Ia kini sedang menikmati hidupnya yang berada di puncak tertinggi. Keringat hampir tak pernah membasahi wajahnya lagi, pakaian seragam sesuai kebutuhan melekat di tubuhnya. Prawito semakin gagah dan perkasa. Sayang, orang -orang di perempatan pasar Kamis hampir tak pernah bertemu dengannya lagi.
"Waduh, ternyata bukan aku saja yang jadi ajudan beliau, orang kaya nih ternyata..."pikir Prawito. Meskipun bukan satu-satunya ajudan sang bupati, Prawito ternyata mendapatkan fasilitas kerja yang lebih dari rekan-rekan lainnya. Sebuah kamar berukuran 5x5 meter persegi lengkap dengan AC dan kamar mandi menjadi tempatnya melepas lelah. Prawito juga kerap dibelikan seragam atau baju baru setiap sang pejabat hendak bepergian. Sungguh sebuah kesenjangan yang terjadi di antara para ajudan sang bupati. Sayangnya mereka tidak ada yang berani melayangkan protes kepada sang bupati atau setidaknya menyesali kedatangan Prawito sebagai ajudan baru.
Hari kedua Prawito sebagai ajudan adalah hari yang istimewa baginya. Sang bupati memintanya untuk menemani perjalanan dinas ke ibu kota. Di usia yang hampir menginjak angka empat puluh, Prawito belum pernah sekalipun melihat megahnya kota Jakarta.
"Bapak yakin berangkat sama Wito saja?". Sang bupati mengangguk saat istrinya bertanya dengan heran. Tidak seperti biasanya suaminya ini melakukan perjalanan dinas hanya didampingi oleh satu ajudan saja.
"Hanya tugas menandatangani berkas kok,"jawabnya singkat. Sementara itu Prawito sibuk sendiri, mengepak pakaiannya ke dalam koper. Jadwal keberangkatan Prawito dan sang bupati tinggal beberapa jam lagi. Prawito sungguh sudah tak sabar melihat Jakarta dan duduk di dalam pesawat.
--------