Lihat ke Halaman Asli

Ika Kartika

Communicating Life

Misteri Kotak Suara (Bagian II):Transparansi yang Hampir Terkubur

Diperbarui: 16 September 2025   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Belum 5 (lima) jam lalu, saya menulis bahwa memilih pemimpin di negeri ini makin terasa seperti membeli kucing dalam karung. Kita tahu kotaknya, tapi tidak tahu apa yang bergerak di dalam. Kita hanya bisa menebak-nebak, berharap isinya sesuai harapan.

Dan lihatlah, seakan semesta sedang bercanda, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tiba-tiba sempat menetapkan aturan bahwa 16 dokumen syarat pencalonan presiden dan wakil presiden---termasuk ijazah---akan dirahasiakan dari publik. Untungnya, aturan itu kemudian dicabut setelah gelombang kritik menghantam dari berbagai arah. Tapi bayangkan sejenak: bagaimana jadinya jika aturan itu benar-benar dibiarkan berlaku?

Antara Privasi dan Hak Publik

Dalih awalnya jelas: perlindungan data pribadi. Sebuah alasan yang terdengar mulia. Tapi mari kita jujur: sejak kapan publik harus buta demi melindungi calon pemimpin? Bukankah justru karena jabatan itu public office, segala sesuatu tentang kelayakannya harus diuji secara terang benderang?

Memang, ada batas privasi yang wajar. Kita tak perlu tahu golongan darah capres, atau hasil tes kesehatan detail sampai kolesterolnya. Tapi soal rekam jejak pendidikan, kewarganegaraan, catatan hukum, bahkan harta kekayaan? Itu bukan wilayah pribadi. Itu mandatori untuk diperiksa bersama, sebab menyangkut keabsahan dan integritas kandidat yang kelak mengelola negara.

Kalau dokumen itu ditutup rapat, kita benar-benar terjebak dalam kotak suara yang gelap: hanya bisa mendengar klaim, tetapi tak pernah bisa membuktikan kebenarannya.

Demokrasi Bukan Ruang Gelap

Pembatalan aturan oleh KPU memang patut diapresiasi. Itu menunjukkan bahwa tekanan publik masih punya daya. Suara-suara kritis, meski sering dianggap ribut, ternyata mampu mengubah arah kebijakan.

Namun, pertanyaannya: apakah cukup berhenti pada pencabutan aturan? Saya khawatir tidak. Karena transparansi sejati bukan sekadar membuka dokumen, melainkan juga memastikan dokumen itu mudah diakses, terverifikasi, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Apa gunanya dokumen dibuka jika hanya segelintir orang yang bisa melihatnya di ruangan ber-AC? Apa gunanya ijazah diumumkan jika publik tidak punya alat untuk mengecek keasliannya? Transparansi tanpa akses yang nyata hanyalah kosmetik.

Kucing, Karung, dan Kepercayaan Publik

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline