Lihat ke Halaman Asli

Husen mulachela

Reporter/SEO content writer/scriptwriter

Rhetoric of Victimhood ala Pengepungan di Bukit Duri

Diperbarui: 26 Agustus 2025   21:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1: Edwin saat di luar sekolah (Sumber: IMDb).

Sejak tahap prolog Pengepungan di Bukit Duri (2025), sang sutradara, Joko Anwar, langsung menampilkan montase kesengsaraan yang perlahan mengerucut pada satu gambar: Edwin remaja terkulai lemas menatap rumahnya yang hangus terbakar, wajahnya tertutup jelaga, tubuhnya gemetar dalam tangis serak memanggil-manggil orangtuanya. Potret derita total ini menjadi isyarat awal bahwa film ini akan mengikuti kisah seorang penyintas kekerasan rasial yang tumbuh dalam sistem sosial yang menindas. Artinya, Joko menempatkan "korban" sebagai poros utama narasi. Ini adalah sebuah pendekatan bercerita yang oleh Roy Brand dalam "Identification with Victimhood in Recent Cinema" (2008) disebut sebagai rhetoric of victimhood.

Frasa itu terbagi dua kata: 'retorika' dan 'korban'. Retorika, kata Aristoteles, adalah seni berbicara untuk membujuk dan meyakinkan audiens (persuasi) dengan memperhatikan logos (logika), pathos (emosi), dan ethos (etika/kredibilitas). Aristoteles menyebut retorika bersifat universal (tidak terikat pada satu subjek keilmuan), namun pada masanya, seni retorika digunakan untuk memoles pidato pengadilan, pidato politik, hingga pidato seremonial.

Sementara 'korban', definisi yang ditawarkan Peter Utgaard terasa paling relevan (dalam konteks Pengepungan di Bukit Duri). Menurutnya, seseorang atau sekelompok orang hanya dapat disebut korban jika memenuhi dua syarat: pertama, mereka menjadi sasaran dari tindakan dengan niat menyakiti. Kedua, penderitaan yang dialami tidak layak ditimpakan kepada mereka (undeservedness). Status korban harus lahir dari adanya agresi atau niat jahat yang jelas dari pihak lain, sehingga ia (status korban) tidak dapat diklaim begitu saja.

Maka, rhetoric of victimhood dalam sinema dapat dipahami sebagai strategi penceritaan yang secara sadar membentuk karakter atau kelompok tertentu -- beserta konteks sosialnya -- sebagai korban, demi membangkitkan simpati, empati, bahkan solidaritas dari penonton. Senjata persuasinya ada dalam bentuk narasi (karakter, plot) dan sinematik (editing, suara, sinematografi, mise-en-scne) yang dirangkai sedemikian rupa untuk "merayu" penonton.

Praktik 'retorika korban' dalam film kerap terbaca melalui penggunaan bahasa atau penyampaian cerita dramatis nan menyentuh yang bertujuan memantik rasa simpati atau belas kasihan terhadap karakter atau sekelompok karakter yang dianggap (atau, dipilih) sebagai korban dalam cerita. Retorika ini sering kali menyoroti penderitaan, kerugian, atau ketidakadilan yang dialami oleh korban untuk mempengaruhi emosi audiens.

Tentu, Joko bukan orang pertama yang mengadopsi narasi model begini. Dalam esai yang sama, Brand mengutip kritikus sastra Tzvetan Todorov yang mencatat, sejak pertengahan abad ke-20 telah terjadi pergeseran paradigma naratif dalam budaya populer: dari kisah-kisah heroik yang mengidealkan komunitas sendiri, menjadi kisah-kisah melankolis yang berfokus pada penderitaan dan posisi sebagai korban.

Todorov memang tidak secara spesifik bicara film, melainkan tren kultural dalam narasi secara umum -- khususnya budaya barat. Tetapi pernyataannya bergema dalam praktik sinema global, termasuk Indonesia. Jika dalam narasi klasik pahlawan adalah sosok yang menaklukkan musuh (tak lepas dari pengaruh perang dunia), dalam sinema kontemporer, pahlawan adalah mereka yang bertahan hidup sambil membawa luka. Dengan kata lain, 'korban' sering kali menjadi hero of the story.

Dalam perjalanan sinema nasional, sosok korban selalu punya ruang tersendiri dalam narasi. Dari film-film patriotik era Usmar Ismail, film-film religi Chairul Umam, sampai film-film seksploitasi (yang seringnya membingkai perempuan sebagai korban) dengan judul-judul sensasional, pernah menyematkan atau memanfaatkan figur korban untuk tujuan tertentu. Beberapa menampungnya dengan penuh sensitivitas sebagai penggerak utama cerita, lainnya sebagai karakter pasif yang menanti sang 'penyelamat' datang. Sisanya, tak jarang, sebatas subjek yang dieksploitasi habis-habisan dalam rangka mengemis air mata (atau bahkan dalam semangat memantik berahi penonton).

Sementara Joko, secara filmografi, sebenarnya cukup konsisten menampilkan korban sebagai poros konflik, seperti dalam Pintu Terlarang (2009), Modus Anomali (2012), A Copy of My Mind (2015), Perempuan Tanah Jahanam (2019), hingga Siksa Kubur (2024). Dalam deretan film tersebut, korban merupakan pintu masuk menuju kehidupan sosial yang traumatik dan sistemik. Tetapi bukan hanya korban. Dalam deretan film-film itu juga ada kekhasan berulang yang terbaca, yaitu: ruang (chamber) dan kekerasan (violence). Dalam Siksa Kubur, misalnya, ruang-ruang seperti pesantren, panti wreda, hingga liang lahat bukan sekadar latar, tetapi juga cerminan konflik sosial dan spiritual. Sementara unsur kekerasan, tampil frontal dan kerap menyimpan tafsir sosial yang kompleks -- menciptakan ketegangan antara ngeri dan kagum.

Namun ironisnya, dalam banyak praktik representasi, kemunculan korban tak selalu menjamin mereka benar-benar "berbicara". Gayatri Spivak, dalam "Can the Subaltern Speak?" (1988), menyatakan suara-suara kaum subaltern (kelompok masyarakat yang termarginalkan dan tertindas -- sering kali karena identitas mereka) yang tersebar dalam gaung-gaung masyarakat merupakan suara-suara yang seolah-olah sebagai representasi kepentingan kaum subaltern, padahal nyatanya hanyalah kepentingan dominasi yang hegemonik. Maka, meski Pengepungan di Bukit Duri tampak memberi ruang bicara bagi korban, kita juga perlu bertanya: atas nama siapa suara itu dimediasi? Dan, apakah korban memang benar-benar "berbicara" atau sekadar menjadi wajah sedih yang diperagakan dalam montase kekerasan?

Di sisi lain, dalam masyarakat visual seperti sekarang, film Joko juga bersinggungan dengan apa yang oleh Guy Debord disebut sebagai spectacle -- pertunjukan sosial yang menenggelamkan makna dalam citra (The Society of Spectacle, 1967). Kekerasan dan penderitaan yang ditampilkan, yang jadi salah satu ciri khas rhetoric of victimhood, alih-alih memperkuat empati, bisa tergelincir menjadi komoditas tontonan semata. Pandangan Guy Debord ini sejalan dengan pendapat Susan Sontag dalam "Regarding the Pain of Others" (2003) yang mengingatkan bahwa paparan berulang terhadap gambar penderitaan justru bisa menumpulkan empati atau bahkan menimbulkan kenikmatan estetis atas luka orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline