Penunjukan kembali Indra Sjafri sebagai pelatih Timnas U-23 menuju SEA Games 2025 menyalakan ulang optimisme publik. Ia adalah sosok yang menutup penantian emas 32 tahun di Kamboja 2023. Namun, satu kebijakan langsung memantik perdebatan: menolak pemusatan latihan (TC) di luar negeri.
Keputusan ini bisa dibaca dengan dua kacamata: filosofi "andhap asor"---kerendahan hati yang penuh kesadaran, atau anti tesa "pancen asor"---memang "rendah" karena keterbatasan tertentu?
Andhap Asor: Efisiensi yang Terkalkulasi
Dilihat dari sisi filosofis dan ilmiah, langkah Indra bisa dibaca sebagai sikap rendah hati yang cerdas: menolak gengsi, memilih esensi.
- Lingkungan sebagai laboratorium alami.
Cuaca Indonesia Thailand. Teori environmental specificity menegaskan: berlatih di kondisi serupa kompetisi lebih efektif daripada jalan-jalan ke Eropa yang berbeda iklim. - Respek terhadap klub.
TC domestik memungkinkan manajemen beban kerja. Pemain bisa tetap bersama klub tanpa friksi panjang. Dalam sepak bola modern, menjaga hubungan klub--timnas sama vitalnya dengan menjaga kebugaran. - Kontrol penuh atas uji coba.
Dengan mendatangkan lawan ke tanah air, Indra punya kendali penuh atas ritme persiapan. Tidak ada jet lag, tidak ada biaya mahal, tidak ada distraksi. Semua efisien.
Di sini, strategi Indra sejajar dengan piwulang Jawa: wani ngalah luhur wekasane---berani mengalah dari gengsi, demi hasil akhir yang lebih mulia.
Pancen Asor? Keterbatasan yang Disulap jadi Kebijakan
Namun, mari jujur. Bagaimana jika alasan sesungguhnya bukan karena filosofi, melainkan karena PSSI tak punya cukup anggaran dan akses fasilitas elit di luar negeri?
- Minim variasi taktik.
Lawan uji coba di dalam negeri sering kali hanya menawarkan gaya main "Asia Tenggara plus India." Tanpa menghadapi karakter permainan berbeda (Eropa, Timur Tengah), pemain berisiko jadi katak dalam tempurung. - Integrasi pemain abroad rapuh.
Pemain seperti Jenner atau Struick hanya bisa hadir singkat. TC domestik yang terfragmentasi sulit membangun chemistry mendalam. Ini problem lama yang tak selesai hanya dengan alasan efisiensi. - Sport science setengah matang.
Fasilitas Indonesia masih jauh tertinggal dibanding pusat latihan Jepang atau Belanda. Tanpa marginal gains dari teknologi recovery, kita hanya mengandalkan semangat. Apakah itu cukup untuk menjaga superioritas di level Asia?
Jika benar ini soal keterbatasan anggaran, maka narasi andhap asor tak lebih dari kosmetik. Yang terjadi sebenarnya adalah pancen asor: terpaksa rendah karena daya dukung sistem tidak memadai.
Kesimpulan: Retorika atau Realita?
Strategi Indra Sjafri bisa dibaca sebagai laku bijak, bisa juga sebagai cermin ketidakberdayaan. Di atas kertas, ia tampak sebagai pemimpin yang andhap asor: menolak pamer fasilitas, memilih efisiensi. Tetapi di balik layar, ada potensi pahit: justru pancen asor karena federasi tak menyiapkan jalan yang lebih baik.
Pertanyaan akhirnya sederhana namun menggelitik: apakah Timnas U-23 sedang dipimpin oleh pelatih yang bijak menundukkan ego, atau justru oleh sistem yang membuatnya tunduk karena keterbatasan?