"Selamat datang di Kedai Kata. Mau pesan apa, Kak?"
Tidak ada jawaban. Lelaki itu masih menikmati posisi diamnya. ia masih menganggap pelayan yang berdiri di hadapannya tidak lebih sebagai seonggok benda mati yang ada tidaknya benda itu dianggapnya tidak berarti.
Pelayan itu sekali lagi mengulangi pertanyaannya. Lelaki itu sedikit mengangkat tubuhnya untuk memberikan keleluasaan bagi tangannya menggeser tempat duduknya sedikit ke kiri. Tidak ada makna yang pasti atas gerakan itu. Ia hanya basa-basi sambil memikirkan apa yang hendak dipesan.
"Kopi yang tidak pahit."
"Maaf, Kak. Tidak ada kopi yang tidak pahit. Mungkin Kakak bisa memilih di antara cappucino, latte, atau moccacino?" ujar sang Pelayan.
"Moccacino."
"Pesanan kami catat. Ada yang mau dipesan lagi, Kak?"
Lelaki itu menggelengkan kepalanya. Setelahnya sang Pelayan menyerahkan secarik kertas berukuran A4 dan sebuah pena. Seperti kebanyakan pelanggan yang baru pertama kali mampir di Kedai Kata, lelaki itu menatap tajam sang Pelayan. Tatapan lelaki itu serta-merta dipahami sang Pelayan. Tanpa menunggu lelaki itu bertanya, ia segera memberikan penjelasan.
"Kedai Kata bukan sekadar kedai kopi. Di sini, setiap orang bebas berekspresi. Silakan ungkapkan seluruh perasaan yang bersemayam dalam diri. Silakan keluarkan segala luka dan duka yang sedang mengimpit hati. Keluarkan semuanya hingga jiwa menjadi bebas, sebebas burung elang yang terbang di atas cakrawala. Bukankah hidup hanyalah tempat persinggahan untuk menyeruput secangkir kopi?" Sang Pelayan sejenak memberi jeda.
"Silakan Kakak tulis apa saja di kertas ini. Bisa sebait puisi, ungkapan hati, atau apa saja yang ingin Kakak tulis. Jika berkenan, tulisan Kakak akan kami pajang di dinding Kedai Kata selama 24 jam bersama tulisan dari pelanggan lainnya."
Lelaki itu mengangguk dan mengambil kertas serta pena dari sang Pelayan yang tak lama kemudian ikut mengangguk sekaligus meminta izin untuk menyiapkan pesanannya.