Kebijakan makan bergizi gratis (MBG) patut diberikan penghargaan. Niat baik Prabowo mewujudkan janji kampanye harus didukung sepenuhnya.
Ini aksi nyata untuk memperbaiki gizi masyarakat, sekaligus membebaskan masyarakat dari stunting. Namun dalam pelaksanaan kebijakan yang menyangkut teknis, adalah kewajiban bersama untuk memperbaiki program ini agar lebih baik.
Tulisan ini mencoba memberikan alternatif pemikiran, agar daya jangkau MBG meluas, dengan melibatkan masyarakat tempat tinggal atau berbasis masyarakat.
MBG yang saat ini berlangsung adalah berbasis masyarakat sekolah. Secara teknis pendataan paling mudah memang berdasarkan pada data anak di tiap sekolah.
Lalu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) juga bisa didirikan di sekolah yang memiliki lahan yang memungkinkan untuk pendirian SPPG. Karena ingin segera terwujud, pendirian SPPG tidak memperhatikan kelayakan yang telah ditetapkan Kemenkes.
Menteri Kesehatan dalam media massa nasional menyatakan banyak SPPG belum memiliki Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS). Bahkan Kompas.com menurunkan berita pada tanggal 29 September 2025, dengan judul "Tak Satu Pun SPPG di Bangkalan Miliki Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi." Kasus keracunan MBG secara massal sangat berkaitan dengan SLHS ini.
Sumber Kompas.com, 29 September 2025
Memperhatikan program Prabowo, selalu ada benang merah yaitu ingin memberdayakan masyarakat. Pada MBG misalnya Prabowo ingin masyarakat di sekitar SPPG dapat dipekerjakan.
Pemberdayaan ini selalu diungkapkan bahwa MBG mampu menggerakan ekonomi masyarakat. Di beberapa tempat karena keterbatasan dana, masyarakat didorong untuk menjadi bagian yang secara sukarela mau membantu. Mereka tidak disebut pekerja, tetapi relawan.
Kritik tentu saja harus disampaikan, mulai dari bahan yang disajikan, MBG harus menyajikan produk lokal. Jangan ada burger di dalam penyajian MBG. Korban keracunan jangan dianggap hanya sebagai angka statistik, misal hanya sekian persen.