Dakwah bukan sekadar penyampaian ilmu. Ia adalah seni menyentuh hati, membimbing jiwa, dan merangkul manusia dengan kasih sayang. Dan itu semua bermula dari satu hal yang amat fundamental: akhlak seorang dai.
Akhlak adalah cerminan spontan dari kepribadian seseorang. Ia bukan sekadar ekspresi buatan, melainkan refleksi dari kedalaman hati dan kesadaran spiritual. Dalam konteks dakwah, akhlak seorang dai merupakan respons spontan terhadap beragam karakter dan reaksi mad’u — orang yang didakwahi. Dan kita tahu, mad’u itu sangat beragam: ada yang antusias, ada yang acuh, dan tak sedikit yang menantang, menguji kesabaran seorang dai.
Namun, Allah menegaskan bahwa kelembutan adalah pakaian utama para dai. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
"Maka berkat rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka"
(QS. Ali Imran: 159)
Ayat ini menjadi jaminan ilahiyah bagi Rasulullah ﷺ bahwa dalam situasi apapun, Allah akan melembutkan hatinya ketika berdakwah. Menariknya, jaminan ini tidak hanya berlaku bagi Nabi, tetapi juga menjadi pelajaran bagi setiap dai sepanjang masa.
Nabi dan Lemah Lembut di Tengah Kekejaman
Sejarah mencatat bagaimana Nabi Muhammad ﷺ menghadapi kekerasan verbal, fisik, hingga boikot ekonomi dengan akhlak yang luar biasa. Di Mekah, beliau mengalami embargo total; apapun yang dibeli atau dijual oleh beliau diumumkan agar tidak dilirik pasar. Dalam masyarakat dagang seperti Mekah, ini adalah hukuman ekonomi yang sangat kejam. Namun bagaimana respons beliau? Bukan kemarahan. Bukan pula pembalasan. Tapi kelembutan dan kesabaran.
Allah kembali menegaskan dalam lanjutan ayat:
"Dan sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Maka maafkanlah mereka..."
(QS. Ali Imran: 159)
Di sinilah letak kekuatan akhlak seorang dai: mampu memberi maaf bahkan kepada yang menyakiti. Allah pun memuji orang yang memaafkan:
"Tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya dari Allah..."
(QS. Asy-Syura: 40)
Bukan Hanya Maaf, Tapi Juga Doa Ampunan
Lebih dari sekadar memaafkan, seorang dai idealnya juga mendoakan ampunan untuk mad’u yang telah berbuat salah. Ini bukan perkara ringan, namun inilah tingkat tertinggi dari kasih sayang dalam dakwah. Allah perintahkan:
"Mohonkanlah ampunan bagi mereka"
(QS. Ali Imran: 159)
Ketika Nabi berdakwah di Thaif, beliau tidak hanya disakiti, tetapi juga diusir dengan hinaan. Namun ketika malaikat menawarkan untuk menghancurkan mereka dengan dua gunung, jawaban Rasul ﷺ justru menggetarkan:
"Tidak, aku berharap Allah melahirkan dari keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata."
(HR. Bukhari)
Inilah wajah dakwah yang sejati: bukan marah, bukan benci, tapi doa dan harapan kebaikan.
Musyawarah: Mendengarkan Suara Mad’u
Dalam QS. Ali Imran: 159, Allah juga memerintahkan agar dai bersikap inklusif dalam mengambil keputusan: