Isu pengakuan profesi dokter hewan sebagai bagian dari tenaga kesehatan kembali mencuat ke ruang publik, terutama pasca munculnya kasus seorang dokter hewan di Magelang yang membantu memberikan terapi suntik sekretom kepada seorang pasien manusia.
Kasus ini memantik diskusi panjang tentang batas-batas peran dokter hewan, serta apakah pantas dan sesuai aturan jika mereka terlibat dalam praktik pelayanan kesehatan yang bersentuhan dengan manusia.
Namun sebelum buru-buru menarik kesimpulan dan menyudutkan profesi dokter hewan, ada baiknya kita kembali menelaah secara jernih: apakah dokter hewan memang bagian dari tenaga kesehatan? Jika ya, apa dasar logis, akademik, dan administratif yang mendukung hal tersebut?
Menurut penulis, setidaknya ada delapan alasan yang kuat mengapa dokter hewan layak dan selayaknya diakui sebagai tenaga kesehatan, bukan hanya di tataran kampus, tetapi juga dalam praktik, kebijakan, dan pengambilan keputusan lintas sektor.
Pertama, Dokter Hewan Berasal dari Rumpun Ilmu Kesehatan
Secara formal dan struktural, program studi atau fakultas kedokteran hewan berada dalam rumpun ilmu kesehatan. Hal ini setara dengan fakultas kedokteran dan kedokteran gigi.
Bahkan dalam sistem klasifikasi ilmu pendidikan tinggi nasional (SNDIKTI), kedokteran hewan masuk dalam kelompok ilmu medis dan kesehatan.
Dengan demikian, sudah sejak masa pendidikan, dokter hewan disiapkan sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan, hanya saja fokusnya pada kesehatan hewan.
Namun ilmu dasar yang dipelajari anatomi, fisiologi, farmakologi, patologi, mikrobiologi, hingga ilmu penyakit infeksius, sangat beririsan dengan ilmu kedokteran manusia.
Maka tidak mengherankan jika banyak dokter hewan mampu memahami, menginterpretasi, bahkan memberi masukan pada kasus medis manusia, tentu dalam batas-batas tertentu.