Suara itu terdengar lagi.
"Waspadalah terhadap pelecehan seksual. Laporkan kepada petugas bila terjadi di sekitar Anda."
Aku duduk di bangku KRL, mendengarkan kalimat yang seharusnya tak perlu ada. Bukankah perjalanan dengan transportasi publik idealnya hanya soal berpindah tempat—dari rumah ke kantor, dari satu stasiun ke stasiun lain?
Nyatanya, rasa aman itu kini berubah menjadi sesuatu yang harus diingatkan berulang-ulang, seakan ia barang langka yang bisa hilang kapan saja.
Pengumuman itu mengembalikan ingatanku pada satu gerakan global yang beberapa tahun lalu mengguncang dunia: #MeToo. Gerakan ini membuka mata banyak orang bahwa pelecehan seksual bukan persoalan sepele, melainkan ancaman nyata yang merusak ruang umum.
Di Indonesia, gema serupa perlahan muncul—termasuk di kereta komuter yang seharusnya menjadi moda transportasi publik paling aman bagi semua. KRL, misalnya, sudah beberapa bulan terakhir rutin menggaungkan kampanye anti-pelecehan.
Pertanyaan logisnya, apakah langkah ini sudah cukup membuat penumpang merasa aman?
Suara dari Penumpang dan Tantangannya
Beberapa waktu lalu, aku dan seorang teman naik KRL bersama. Perjalanan masih setengah jalan ketika tiba-tiba ia berdiri dan mengajakku turun di stasiun yang bukan tujuan kami.
Aku sempat heran, tetapi melihat wajahnya yang tak biasa— seperti sedang menahan marah— aku menurutinya.
Baru setelah duduk di bangku peron, ia bercerita. Ternyata bapak-bapak di sebelah temanku berpura-pura bersedekap, sementara jari-jemari si bapak berulang mengelus punggung samping temanku.
Itu sebabnya ia memilih mengajakku turun. "Kalau aku bereaksi, kan nggak ada buktinya. Nanti malah aku yang dianggap lebay," ujarnya.