Laksa: Tafsir Makanan, Mitos, dan Makna dari Cianjur
Oleh Dikdik Sadikin
Di Cianjur, Laksa bukan sekadar santan dan bihun. Ia adalah doa yang disuapkan secara perlahan. Mitos yang diwariskan diam-diam, dan mengikat antara manusia dan leluhur. Di balik santan, tersembunyi kearifan yang kini kian dilupakan.
MAKANAN adalah ingatan kolektif. Di Indonesia, ia dibumbui mitos, doa, dan larangan yang turun dari langit budaya. Di hari-hari besar seperti Lebaran, makanan tak hanya disantap, juga dimaknai. Di Cianjur, semangkuk Laksa pun bisa menjelma jadi jembatan antara manusia dan semesta.
"Makanan bukan hanya soal rasa. Ia adalah tafsir sejarah, agama, dan kebudayaan yang dimasak bersama waktu."
- Anthony Bourdain (koki selebriti, pengarang, dan tokoh televisi Amerika Serikat)
Ada yang pernah berkata bahwa di meja makan, tak hanya tubuh yang diberi makan, tapi juga jiwa yang dibentuk. Di Indonesia, negeri dari ribuan pulau dan ratusan juta lidah, makanan bukan hanya perkara perut yang lapar. Tapi warisan yang diturunkan dengan takzim, disertai larangan, keyakinan, dan kadang, rasa takut.
Di kampung-kampung, mitos masih hidup dalam bentuk paling sehari-hari: dalam piring. Di Ciamis, ikan asin yang tersisa di pinggir piring konon bisa membuat rezeki seret. Di Jepara, pindang srani dipercaya menolak bala. Di Banten, bontot atau pempek khas lokal tak boleh dibuang sembarangan, karena bisa mengundang roh penasaran.
Dan Lebaran pun menjadi panggung ketika semua simbol itu dihadirkan. Ketupat, opor, kolak pisang. Bukan hanya menu, tapi liturgi. Ketupat bukan hanya anyaman janur, melainkan doa yang dikunyah. Laku papat, ajaran Sunan Kalijaga: lebaran, luberan, lebaran, dan laburan: empat laku untuk mensucikan diri.
Namun, modernitas pelan-pelan menjauhkan kita dari tafsir itu. Menurut survei Litbang Kompas 2023, 34% responden di perkotaan tidak lagi memasak sendiri makanan Lebaran. Ketupat digantikan pizza, rendang oleh ayam Korea, dan opor berganti pasta. Di balik kenyamanan itu, ada jarak yang renggang antara lidah dan makna, antara dapur dan ingatan.
Tapi di beberapa tempat, tafsir itu belum pupus. Ia masih mengepul dari pawon desa, dari panci-panci tua yang menanak makna. Di Cianjur, ada satu makanan yang diam-diam memikul warisan itu: Laksa Cianjur.
Laksa di sini bukan laksa Malaysia atau Bogor yang ramai topping. Ia sederhana, nyaris puritan: bihun, kuah santan beraroma daun salam dan kemangi, dilengkapi telur rebus dan taburan bawang goreng. Tapi jangan tertipu kesederhanaannya: karena di balik kuah itu, tersembunyi mitos.
Konon, Laksa hanya boleh dibuat saat momen keagamaan seperti Maulid Nabi, syukuran kelahiran, atau hajatan besar. Harus oleh tangan perempuan yang sabar, di pagi hari sebelum matahari tinggi. Bila dilanggar, diyakini bisa mengundang gangguan: tanaman layu, ayam mendadak sakit, hingga keretakan keluarga yang tak jelas sebabnya.
Tentu saja ini terdengar aneh bagi generasi yang lebih mengenal shirataki daripada bihun. Tapi mitos bukan soal logika. Ia adalah cara masyarakat menjaga harmoni lewat simbol. Menurut penelitian antropologi UNPAD tahun 2017, lebih dari 60% masyarakat pedesaan Priangan masih memegang mitos makanan sebagai alat kontrol sosial dan spiritual.
Laksa Cianjur (Foto: instagram.com/ipink_nicole)
Laksa menjadi perantara antara manusia dan alam. Santan sebagai lambang kesuburan, kemangi sebagai penolak bala, dan bawang goreng, percaya atau tidak, melambangkan kerendahan hati. Karena bawang hanya harum ketika digoreng perlahan, tidak dengan api besar.