Lihat ke Halaman Asli

Deyanty Yuliastuti

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Leker Mbah Doel: Dari Seratus Perak Hingga Punya 9 Cabang

Diperbarui: 23 Juni 2025   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mbah Doel Sedang Menjualkan dagangan Lekernya Kepada Pembeli   (Sumber: Foto Pribadi)

Di sudut trotoar depan MAN 1 Boyolali, ada aroma khas yang selalu memancing rasa penasaran siapa pun yang melintas. Bukan dari restoran mewah, melainkan dari sebuah gerobak biru sederhana di bawah payung warna-warni. Di sanalah Mbah Doel, lelaki berusia 72 tahun, menyiapkan kue leker yang sudah jadi legenda sejak era uang seratus perak masih punya arti. "Dulu alatnya masih seadanya, belum serapi sekarang," kenang Mbah Doel sambil tersenyum tipis, tangan tetap lincah membalik adonan leker yang mulai mengering pinggirannya. "Tapi soal rasa, dari dulu saya usahakan tetap sama." Mbah Doel memulai usahanya sejak masih remaja di tahun 1970-an. Dengan satu loyang, seplastik adonan, dan keyakinan penuh, ia berdagang dari pagi hingga sore. Kini, setelah 55 tahun berlalu, ia masih di tempat yang sama, menjajakan leker dengan toping coklat, susu, kacang, pisang, hingga keju---semua bisa dicampur sesuai selera pembeli. 

Mbah Doel sedang Meracik Dagangan Leker Untuk Pembeli (Sumber: Dokumen Pribadi)

Dan pembelinya? Jangan kaget kalau satu orang bisa membeli lima hingga sepuluh sekaligus. "Biasanya sih beli lima, tapi kalau lagi kangen banget, saya borong sampai sepuluh," ujar Dita, pelanggan setia yang mengaku sudah langganan sejak SMA. "Rasanya itu loh, beda. Renyahnya pas, manisnya nggak lebay. Ada rasa 'rumahan' yang susah dicari di tempat lain." Mbah Doel bukan hanya dikenal karena rasanya yang konsisten. Ia juga simbol ketekunan. Di masa pandemi, ia sempat diusir saat nekat berjualan. Tapi bukannya menyerah, ia tetap bertahan. "Saya anggap itu ujian. Rezeki kan urusan Yang di Atas," katanya, pelan tapi mantap. Pasca pandemi, penjualannya justru melonjak. Dalam sehari, topping bisa habis sampai 4 kilogram. Pendapatan pun ikut meningkat. "Paling sedikit bisa sejuta. Kadang malah lebih kalau lagi ramai," ujarnya, tanpa sedikit pun nada sombong. Kini, usaha leker yang dulunya hanya satu gerobak, telah berkembang menjadi sembilan cabang yang tersebar dari Boyolali hingga Ampel. 

Namun Mbah Doel tetap setia berjualan sendiri. "Biar orang tahu, ini bukan cuma bisnis. Ini hidup saya," ucapnya. Gerobaknya sejajar dengan pedagang kaki lima lain. Ia tak menonjolkan diri, tak pernah merasa paling duluan. Tapi pembeli datang silih berganti, seolah sudah tahu di mana tempat yang paling layak disinggahi saat lapar, atau saat rindu masa kecil. 

Ada nilai-nilai yang tak bisa dilihat dari tampilan luar gerobak birunya: kejujuran, doa, dan kerja keras. Mbah Doel dikenal sebagai sosok yang ramah, sopan, dan taat beribadah. Ia percaya, berdagang bukan sekadar mencari uang, tapi juga bentuk ikhtiar yang harus dijalani dengan sepenuh hati. "Yang penting jangan curang. Rezeki itu sudah ada yang ngatur. Saya tinggal jalani saja," katanya sambil menuang susu kental manis ke atas leker yang mulai matang. Leker buatan Mbah Doel mungkin sederhana, tapi di balik kerenyahannya tersimpan pelajaran tentang ketekunan, kesabaran, dan cinta pada pekerjaan. Ia bukan sekadar penjual, ia penjaga rasa. Dan siapa pun yang pernah mencicipi leker Mbah Doel, tahu betul: rasanya bukan sekadar enak tapi juga hangat, seperti kenangan masa kecil yang tak lekang waktu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline