Kabut pagi di Pudong Shangri-La Shanghai menyentuh jendela kamar seperti sapaan pelan dari dunia luar. Pukul lima, kota masih terlelap, tapi saya sudah terjaga. Hari terakhir pertemuan regional Asia Pasifik dimulai bukan dengan agenda, melainkan dengan ritual kecil yang saya bawa dari rumah, segelas air putih hangat, meditasi singkat, dan yoga ringan di sudut kamar yang saya siapkan sejak hari pertama.
Tubuh terasa lentur, pikiran mulai jernih. Saya turun ke gym center, menyusuri lorong hotel yang sunyi. Hanya suara langkah di atas karpet dan alunan instrumental dari speaker tersembunyi. Di atas treadmill, saya berjalan santai sambil membuka gawai, memeriksa email satu per satu. Musik klasik mengalun di telinga, mengiringi ritme langkah dan aliran pikiran yang mulai tertata.
Pukul tujuh lewat sedikit, saya melangkah ke restoran hotel. Udara pagi terasa hangat, pencahayaan lembut menyambut setiap tamu dengan keanggunan khas Shangri-La. Aroma keju dan vanilla menyapa begitu saya masuk, hangat, familiar.
Di antara sajian internasional dan lokal, mata saya tertuju pada cheesecake sederhana yang tampak menggoda. Lapisan atasnya mengkilap, teksturnya padat namun lembut. Saya mengambil sepotong dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menggenggam secangkir kopi hitam panas. Saya duduk di dekat jendela, menghadap taman kecil yang mulai disinari matahari pagi. Di sana, di antara aroma kopi dan sisa percakapan dari meja-meja lain, saya menikmati momen kecil yang terasa utuh.
Hari terakhir ini bukan hanya tentang menyelesaikan agenda, tapi tentang merayakan rutinitas yang menjaga ketenangan di tengah dinamika kehidupan. Rutinitas yang memberi ruang untuk bernapas, untuk merasa cukup, dan untuk kembali menjadi diri sendiri.
Keesokan harinya, saya kembali di Jakarta. Senin pagi pertama setelah perjalanan panjang dan diskusi intens bersama tim. Di rumah, rutinitas terasa lebih hangat, karena ada kita, dan ada dia.
Sebelum kami berangkat ke kantor masing-masing, saya menyiapkan sarapan: secangkir teh hangat dan sepotong cheesecake, kue yang sama yang saya nikmati di Shanghai. Saya bertanya padanya, “Gimana rasanya?” Ia tersenyum, lalu berkata, “Ah, ini sih rasa cheesecake yang biasa kita makan. Mungkin beda karena kamu baru pulang dari jauh. Tapi cheesecake buatan kamu jauh lebih enak.”
Pagi itu sederhana, tapi penuh makna. Di antara teh hangat dan tawa ringan, saya kembali diingatkan, bahwa ketenangan sejati bukan hanya ditemukan di tempat megah, tapi di ruang kecil yang kita rawat bersama. Ruang yang memberi rasa aman, ruang yang tidak menuntut kesempurnaan, hanya kehadiran yang tulus.
Satu bulan kemudian, tepat D-1 ulang tahunnya, saya mengambil cuti. Bukan karena lelah, tapi karena ingin menyiapkan sesuatu yang ia minta secara khusus: cheesecake buatan tangan, resep favoritnya. Saya ingin ia merasa dilihat, dihargai, dan dirayakan, bukan hanya sebagai pasangan, tapi sebagai individu yang layak mendapatkan perhatian penuh.
Dapur menjadi ruang penuh aroma vanilla, keju, dan kenangan. Saya menakar setiap bahan dengan hati-hati, memastikan tekstur dan rasa sesuai dengan yang ia sukai, padat, lembut, dan sedikit manis. Saya tidak terburu-buru. Setiap langkah saya lakukan dengan kesadaran penuh, seperti meditasi yang berubah bentuk. Di balik setiap gerakan, ada niat untuk menghadirkan rasa cukup, rasa dipilih, dan rasa dimiliki.