Prolog: Di Meja Display, Katabasis Ludes Tanpa Ampun
Pagi itu, ratusan kopi novel Katabasis raib dari meja display. Tak terbendung. Di tengah keraguan banyak pihak tentang minat baca bangsa ini, pemandangan itu seperti tamparan lembut: Indonesia tidak kekurangan pembaca. Ia hanya kekurangan ruang yang menghargai membaca sebagai tindakan sosial dan spiritual.
Visual dari TEMPO yang saya simpan bukan sekadar ringkasan berita. Ia adalah cermin dari lanskap literasi yang sedang berubah, bukan merosot. Buku cetak tetap digemari.Â
Gen Z lahir sebagai kutu buku baru. Dan para penulis, seperti saya, menemukan jalan sendiri untuk menjawab kebutuhan akses bacaan.
Cetak Tetap Digdaya: Ketika Layar Tak Bisa Menggantikan Lembaran
Di era digital, buku cetak seolah menjadi artefak. Namun data berkata lain. Menurut GoodStats, hanya 1% Gen Z yang menyatakan tidak suka membaca. Bahkan 24% dari mereka masih memilih buku fisik dibanding e-book atau audiobook.
Mengapa?
- Karena buku cetak menawarkan pengalaman multisensori: aroma kertas, ritme membalik halaman, dan keintiman yang tak tergantikan. Â
- Karena ia menjadi simbol ketekunan dan refleksi, sebuah ruang teduh di tengah distraksi digital. Â
- Karena di komunitas tertentu, membawa buku fisik masih menjadi penanda kelas intelektual dan spiritualitas pribadi.
Saya sendiri menulis dan menerbitkan buku cetak sebagai bentuk silaturahmi naratif. Dari Transformasi dari BOSS ke Spiritual Great Leader hingga Merancang Change Management, setiap lembar adalah undangan untuk merenung, bukan sekadar membaca.
Gen Z: Kutu Buku Baru yang Membaca Realitas
TEMPO menyebut Gen Z sebagai "kutu-kutu buku baru." Ini bukan pujian kosong, tapi pengakuan bahwa literasi telah bergeser bentuknya.Â