Ada sesuatu yang menenangkan setiap kali saya menatap ayakan anyaman bambu, berisi kacang panjang segar hasil panen yang saya petik sendiri. Warnanya hijau lembut, ujungnya melengkung, dan sebagian masih tampak basah oleh embun pagi. Di belakang rumah batang-batangnya menjulur dari pagar, menjalar ke mana-mana menandai batas waktu kenangan masa kecil.
Di kampung kami, kacang panjang adalah bagian dari ritme hidup. Tiap kali saat panen tiba, ibu selalu berkata: "Kacang panjangmu sudah bisa dipetik, buruan pulang." Selanjutnya seperti biasa, saya pun tergoda pulang, seolah panggilan kerinduan pada ibu, diperkuat aroma tanah, suara jangkrik, dan desir angin di antara batang kacang yang menjalar di pematang sawah.
Kacang Panjang yang Tak Pernah Menjadi Pendek
Saya pernah melontarkan teka-teki kecil kepada keponakan saya:
"Sayur apa yang kalau dipotong bahkan dicincang, tetap saja tak bisa menjadi pendek?"
Mereka berpikir keras, sebelum akhirnya saya menjawab sambil tertawa, "Ya, kacang panjang!"
Tawa mereka sekaligus mengingatkan saya bahwa pada hal sederha pun, ada kearifan yang bisa kita temukan. Kacang berbentuk panjang itu bukan sekadar bentuk, tapi tentang daya tahan, tentang sesuatu yang tetap berarti meski terpotong-potong oleh waktu.
Dari Sawah ke Meja Makan