Lihat ke Halaman Asli

ATIKAH

GURU

Kisah Sang Pemulung

Diperbarui: 14 Maret 2025   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Doc.Flickr

Di bawah Mentari pagi yang mulai bersinar, Seorang lelaki tua mulai menarik gerobak dari sudut gang yang nampak kumuh dan sempit. Langkahnya tegar sesuai dengan Namanya meski usianya tak lagi muda, dengan keadaan yang belum tentu bisa di terima dengan Ikhlas oleh semua orang.

Lorong-lorong yang sempit dan berdebu adalah pemandangan yang setiap hari dia lalui dan mengais harapan di tumpukan sampah-sampah yang menurut orang itu menjijikan.

Tangannya yang hitam dengan baju lusuhnya yang setiap hari menemaninya berjuang. Tidak ada keluarga untuk berbagi cerita. Sudah lama sekali sejak pandemi melanda ia kehilangan pekerjaan serta kehilangan sang istri yang dia sayangi.

Dahulu kala Pa Tegar dan sang istri adalah pasangan yang sangat romantis. Saling memberi suport satu dengan yang lain. Disaat Pa Tegar kehilangan pekerjaan istrinya tetap sabar. Begitupun sebaliknya meski istrinya sakit-sakitan Pa Tegar tetap setia menemani. Hari demi hari kebutuhan ekonomi terus berjalan Pa Tegar dan istri terpaksa menjual rumahnya untuk menyambung hidup. Tidak hanya sekedar untuk makan melainkan untuk biaya pengobatan sang istri yang memang sudah lama sakit. Mereka tidak sempat dikarunia buah hati, sampai ajal memisahkan.

Semenjak istrinya tiada Pa Tegar kehilangan separuh hidupnya. Namun, ia tetap berprasangka baik dengan taqdir Tuhan. Cahaya matahari yang mulai membakar kulit siang itu membuat tubuh tuanya begitu Lelah. Ia menyandarkan tubuhnya di balik gerobak yang sudah setengah terisi oleh boto-botol bekas dan kardus.

Pa Tegar mengarahkan pandangannya ke arah langit sambil bergumam.

"Ya, Tuhan setiap hari dalam dada doa ku bersua, pertemukan lah Kembali aku dengan istriku di surgamu".

Sesekali dia tersenyum menyembunyikan luka.

"Namun, aku merasa surga begitu jauh untuk aku gapai. Aku tidak punya sesuatu yang dapat ku berikan untuk bersedekah. Untuk diriku sendiri saja aku masih harus terus berjuang".

Ditengah lamunannya suara adzan zuhur berkumandang. Ia bergegas berdiri dan menarik gerobaknya Kembali. Di saat dia melewati sebuah masjid langkahnya terhenti. Dalam hati dia begitu ingin sembahyang di sana. Namun, dia merasa tidak layak dengan pakaian compang camping dan kotor tersebut. Dia menyeka keringat dan memutuskan untuk melanjutkan berjalan. Baru beberapa Langkah nampak ada yang memanggilnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline