Empati sering kita dengar sebagai nilai luhur, sesuatu yang membuat manusia lebih manusiawi. Tetapi, apa jadinya ketika seorang tokoh politik justru menyebut empati sebagai istilah "berbahaya"?
Itulah yang dilakukan Charlie Kirk, pendiri Turning Point USA. Dalam salah satu wawancaranya, ia berkata:
"I can't stand the word empathy actually. I think empathy is a made-up, New Age term that does a lot of damage, but it is very effective when it comes to politics."
"Saya benar-benar tidak tahan dengan kata empati. Menurut saya, empati itu istilah buatan, gaya New Age, yang justru membawa banyak kerusakan---meski sangat efektif dalam politik."
Pernyataan ini segera menuai kontroversi. Sebagian orang marah, sebagian lain tertawa sinis. Namun di balik itu semua, ada pertanyaan yang lebih mendalam: benarkah empati hanya sekadar alat politik?
Empati dan Lapisan Realitas
Kirk menilai empati berbahaya karena mudah dipolitisasi. Memang benar, banyak politisi menggunakan bahasa empati untuk meraih simpati publik. Tetapi menganggap empati berbahaya sama saja dengan menghapus makna terdalam dari kapasitas manusia untuk merasakan penderitaan orang lain.
Ada lapisan-lapisan realitas yang berbeda: apa yang nyata di dalam diri kita, apa yang terjadi di masyarakat, dan apa yang tampak di permukaan. Empati hidup di ketiga lapisan ini sekaligus. Ia nyata dalam rasa, aktual dalam tindakan, dan tampak dalam ucapan.
Ketika hanya melihat lapisan permukaan, empati bisa tampak seperti sekadar retorika. Tetapi pada lapisan terdalam, empati adalah mekanisme sosial yang memungkinkan solidaritas tumbuh.
Antara Manipulasi dan Harapan
Memang, ada risiko besar ketika empati dipakai sekadar sebagai slogan. Namun justru karena itu kita perlu membedakan antara empati yang tulus dan empati yang palsu. Menolak empati sepenuhnya sama saja dengan menolak dasar moral bagi kehidupan bersama.