Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Empati Dipersoalkan, Belajar dari Kontroversi Charlie Kirk

12 September 2025   09:02 Diperbarui: 12 September 2025   09:02 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
By Gage Skidmore - https://www.flickr.com/photos/gageskidmore/54670961811/, CC BY-SA 4.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=172612805a

Empati sering kita dengar sebagai nilai luhur, sesuatu yang membuat manusia lebih manusiawi. Tetapi, apa jadinya ketika seorang tokoh politik justru menyebut empati sebagai istilah "berbahaya"?

Itulah yang dilakukan Charlie Kirk, pendiri Turning Point USA. Dalam salah satu wawancaranya, ia berkata:

"I can't stand the word empathy actually. I think empathy is a made-up, New Age term that does a lot of damage, but it is very effective when it comes to politics."

"Saya benar-benar tidak tahan dengan kata empati. Menurut saya, empati itu istilah buatan, gaya New Age, yang justru membawa banyak kerusakan---meski sangat efektif dalam politik."

Pernyataan ini segera menuai kontroversi. Sebagian orang marah, sebagian lain tertawa sinis. Namun di balik itu semua, ada pertanyaan yang lebih mendalam: benarkah empati hanya sekadar alat politik?

Empati dan Lapisan Realitas

Kirk menilai empati berbahaya karena mudah dipolitisasi. Memang benar, banyak politisi menggunakan bahasa empati untuk meraih simpati publik. Tetapi menganggap empati berbahaya sama saja dengan menghapus makna terdalam dari kapasitas manusia untuk merasakan penderitaan orang lain.

Ada lapisan-lapisan realitas yang berbeda: apa yang nyata di dalam diri kita, apa yang terjadi di masyarakat, dan apa yang tampak di permukaan. Empati hidup di ketiga lapisan ini sekaligus. Ia nyata dalam rasa, aktual dalam tindakan, dan tampak dalam ucapan.

Ketika hanya melihat lapisan permukaan, empati bisa tampak seperti sekadar retorika. Tetapi pada lapisan terdalam, empati adalah mekanisme sosial yang memungkinkan solidaritas tumbuh.

Antara Manipulasi dan Harapan

Memang, ada risiko besar ketika empati dipakai sekadar sebagai slogan. Namun justru karena itu kita perlu membedakan antara empati yang tulus dan empati yang palsu. Menolak empati sepenuhnya sama saja dengan menolak dasar moral bagi kehidupan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun