Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Mungkin tidak signifikan, namun melalui niat baik, doa dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rambut Merah, Kepang Dua dan Algoritma

12 September 2025   05:41 Diperbarui: 12 September 2025   05:44 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kebudayaan Hibrid (dokpri)

"Dulu adek kepang dua, sekarang merah-merah." Kalimat itu menggema di dalam batok kepala seperti potongan lagu yang tak mau berhenti. Terdengar sepele, gaya rambut, warna cat, pilihan filter. Tapi di baliknya ada pergeseran peta batin: siapa panutanku, dari mana aku belajar menjadi "aku", apa yang bikin aku merasa "masuk" atau "asing". Kita sering menyebutnya "Barat", seolah ada satu paket nilai yang datang seperti kargo, mendarat di timeline, lalu menyapu bersih halaman hidup. Kenyataannya lebih rumit. Yang datang lebih mirip mesin: platform, kapital, dan bahasa, tiga roda gigi yang berputar tanpa lelah.

"Barat" kebetulan lama jadi operatornya, tapi sekarang giliran siapa saja yang paham cara mainnya. Buktinya K-Culture bisa menaklukkan playlist dan lemari kita. Jadi bukan soal asal-usul semata, melainkan teknik distribusi: siapa yang paling piawai membuat keinginan terasa dekat dan dapat dibeli.

Di kampung, ada seorang ibu yang masih menenun, jarinya hafal pola yang tak pernah dicatat. Siang itu ia berhenti sebentar untuk mengecek ponsel suaminya: video singkat soal teknik pewarnaan alami lewat daun yang difermentasi. Dunia lama dan dunia baru bertemu di layar telapak tangan. Di kota, ada anak gadis SMA yang mengecat rambutnya merah, pirang, bahkan biru atau hijau neon. Bukan pemberontakan besar, hanya ingin terlihat hidup di cermin hari ini. Dua adegan kecil itu seperti buku tipis tentang zaman ini: akar dan antena, masa lalu dan sinyal, sama-sama minta ruang. 

Masalahnya, mesin cenderung menyukai satu bentuk tertentu: bahasa yang paling umum, wajah yang paling "terbaca", cerita yang paling cepat dikunyah. Algoritma tak jahat; ia sekadar menyalurkan apa yang paling mudah bergerak. Tapi kemudahan itu pelan-pelan memukul hal-hal yang tidak efisien, ritual yang butuh waktu, pengetahuan yang diturunkan lewat laku tubuh, nafkah yang lahir dari proses yang panjang. Kalau bagian-bagian ini terpotong, yang tertinggal dari "tradisi" hanyalah kostum. Kita memotret motifnya, tapi kehilangan napasnya. 

Campuran selalu ada: bumbu yang datang dari pelabuhan jauh, alat musik yang beradaptasi, kata serapan yang menjadi milik kita. Bedanya sekarang hanya laju. Dulu, perpindahan referensi bergerak seperti arus sungai. Ia datang pelan, berkelok, membawa serpih-serpih dari hulu yang jauh. Kita sempat menimbangnya di tepian: mencium baunya, mencicipi sedikit, menolak sebagian. Ada jeda untuk bertanya pada orang tua, pada tetangga, pada diri sendiri. Pengaruh luar tidak langsung menelan yang lokal; ia bernegosiasi---mencari celah di bahasa, di dapur, di nada musik---sampai akhirnya menyatu tanpa terasa. 

Sekarang, pergeseran referensi lebih mirip ban berjalan. Lurus, konstan, terukur. Kita berdiri diam pun tetap bergerak, karena konten sudah disusun, disajikan, dan didorong ke depan mata. Algoritma bukan sekadar peta; ia mandor ritme: apa yang muncul duluan, seberapa lama kita menatap, kapan kita membeli. Friksi menguap---autoplay, sekali klik, satu geser. Penyaringan batin sering kalah cepat dari laju tayang. Maka kalau kita tidak sadar, kita ikut meluncur. Kalau terlalu waspada, kita berubah jadi polisi gaya yang sibuk menegur rambut orang. Dua-duanya meleset dari pusat perkara: ini bukan perang rambut; ini pergulatan makna. 

Kadang aku bertanya, apa yang sebenarnya kita takutkan? Mungkin bukan merahnya rambut, melainkan rasa kehilangan "kompas" yang dulu disuplai oleh ritual---cara menyapa, cara berkabung, cara merayakan. Di situ ada pengetahuan yang tidak bisa dipindahkan ke PDF: tekanan tangan saat menganyam, tempo pukulan saat membuka tarian, kalimat yang tepat saat menutup doa. Dan di bawah semua itu ada ekonomi kecil yang membuat keterampilan tetap hidup. Tanpa nafkah, kebanggaan mudah berubah jadi pajangan. 

Namun mesin yang sama juga membuka pintu aneh: seorang pemain talempong berkolaborasi dengan produser elektronik; seorang penjahit desa menjual jaket tenun ke Tokyo; seorang pemandu upacara adat membuat kanal yang memperlihatkan proses dari awal. Ada momentum ketika akar menyentuh antena: yang tradisional bukan lagi museum, melainkan mode "hidup". Kita tak butuh izin siapa pun untuk itu---hanya butuh alasan hari ini: kegunaan, kebanggaan, dan rasa "gue banget". 

Anak gadis berambut merah itu, kalau dipikir, tidak sedang "mengkhianati" siapa pun. Ia sedang mencari bahasa agar terlihat dan diakui. Kalau kampung halaman tak menyediakan panggung yang membuatnya merasa berharga, ia akan pindah ke panggung yang lain---sekalipun panggung itu meminjamkan identitas yang sementara. Di sinilah globalisme terasa paling personal: bukan pada ukuran pasar, tetapi pada getar kecil di dada---aku diterima atau tidak. 

Maka refleksi ini berakhir bukan pada larangan, juga bukan pada selebrasi kosong. Yang ingin kupegang sederhana: tradisi yang bertahan selalu yang menjanjikan masa depan. Ia memberi hal yang bisa dipakai hari ini, entah bahasa, keterampilan, atau cara berkumpul yang bikin kepala lebih ringan. Ia memberi gengsi yang tidak bikin malu di ruang kerja atau di feed. Ia memberi nafkah yang membuat tangan ingin terus mengulang gerakannya. Ketika tiga hal itu hadir, algoritma justru ikut membantu---karena sistem akan selalu mendorong apa yang orang cari dan pakai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun