Masalahnya, mesin cenderung menyukai satu bentuk tertentu: bahasa yang paling umum, wajah yang paling "terbaca", cerita yang paling cepat dikunyah.
Algoritma tak jahat; ia sekadar menyalurkan apa yang paling mudah bergerak. Tapi kemudahan itu pelan-pelan memukul hal-hal yang tidak efisien, ritual yang butuh waktu, pengetahuan yang diturunkan lewat laku tubuh, nafkah yang lahir dari proses yang panjang.
Kalau bagian-bagian ini terpotong, yang tertinggal dari "tradisi" hanyalah kostum. Kita memotret motifnya, tapi kehilangan napasnya.Â
Campuran selalu ada: bumbu yang datang dari pelabuhan jauh, alat musik yang beradaptasi, kata serapan yang menjadi milik kita. Bedanya sekarang hanya laju.
Dulu, perpindahan referensi bergerak seperti arus sungai. Ia datang pelan, berkelok, membawa serpih-serpih dari hulu yang jauh. Kita sempat menimbangnya di tepian: mencium baunya, mencicipi sedikit, menolak sebagian. Ada jeda untuk bertanya pada orang tua, pada tetangga, pada diri sendiri.
Pengaruh luar tidak langsung menelan yang lokal; ia bernegosiasi---mencari celah di bahasa, di dapur, di nada musik---sampai akhirnya menyatu tanpa terasa.Â
Sekarang, pergeseran referensi lebih mirip ban berjalan. Lurus, konstan, terukur. Kita berdiri diam pun tetap bergerak, karena konten sudah disusun, disajikan, dan didorong ke depan mata.
Algoritma bukan sekadar peta; ia mandor ritme: apa yang muncul duluan, seberapa lama kita menatap, kapan kita membeli. Friksi menguap---autoplay, sekali klik, satu geser.
Penyaringan batin sering kalah cepat dari laju tayang. Maka kalau kita tidak sadar, kita ikut meluncur. Kalau terlalu waspada, kita berubah jadi polisi gaya yang sibuk menegur rambut orang. Dua-duanya meleset dari pusat perkara: ini bukan perang rambut; ini pergulatan makna.Â
Kadang aku bertanya, apa yang sebenarnya kita takutkan?
Mungkin bukan merahnya rambut, melainkan rasa kehilangan "kompas" yang dulu disuplai oleh ritual---cara menyapa, cara berkabung, cara merayakan.