Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Mungkin tidak signifikan, namun melalui niat baik, doa dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rambut Merah, Kepang Dua dan Algoritma

12 September 2025   05:41 Diperbarui: 12 September 2025   11:01 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kebudayaan Hibrid (dokpri)

Masalahnya, mesin cenderung menyukai satu bentuk tertentu: bahasa yang paling umum, wajah yang paling "terbaca", cerita yang paling cepat dikunyah.

Algoritma tak jahat; ia sekadar menyalurkan apa yang paling mudah bergerak. Tapi kemudahan itu pelan-pelan memukul hal-hal yang tidak efisien, ritual yang butuh waktu, pengetahuan yang diturunkan lewat laku tubuh, nafkah yang lahir dari proses yang panjang.

Kalau bagian-bagian ini terpotong, yang tertinggal dari "tradisi" hanyalah kostum. Kita memotret motifnya, tapi kehilangan napasnya. 

Campuran selalu ada: bumbu yang datang dari pelabuhan jauh, alat musik yang beradaptasi, kata serapan yang menjadi milik kita. Bedanya sekarang hanya laju.

Dulu, perpindahan referensi bergerak seperti arus sungai. Ia datang pelan, berkelok, membawa serpih-serpih dari hulu yang jauh. Kita sempat menimbangnya di tepian: mencium baunya, mencicipi sedikit, menolak sebagian. Ada jeda untuk bertanya pada orang tua, pada tetangga, pada diri sendiri.

Pengaruh luar tidak langsung menelan yang lokal; ia bernegosiasi---mencari celah di bahasa, di dapur, di nada musik---sampai akhirnya menyatu tanpa terasa. 

Sekarang, pergeseran referensi lebih mirip ban berjalan. Lurus, konstan, terukur. Kita berdiri diam pun tetap bergerak, karena konten sudah disusun, disajikan, dan didorong ke depan mata.

Algoritma bukan sekadar peta; ia mandor ritme: apa yang muncul duluan, seberapa lama kita menatap, kapan kita membeli. Friksi menguap---autoplay, sekali klik, satu geser.

Penyaringan batin sering kalah cepat dari laju tayang. Maka kalau kita tidak sadar, kita ikut meluncur. Kalau terlalu waspada, kita berubah jadi polisi gaya yang sibuk menegur rambut orang. Dua-duanya meleset dari pusat perkara: ini bukan perang rambut; ini pergulatan makna. 

Kadang aku bertanya, apa yang sebenarnya kita takutkan?

Mungkin bukan merahnya rambut, melainkan rasa kehilangan "kompas" yang dulu disuplai oleh ritual---cara menyapa, cara berkabung, cara merayakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun