Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Lontong Bumbu, Nasi Ayam Kampung, dan Penurunan Daya Beli

Diperbarui: 11 Februari 2025   10:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lontong Bumbu dan Nasi Ayam Kampung (Dokumentasi Pribadi)

SELAMA olahraga jalan kaki pagi tidak jarang saya mampir jajan. Bukan lantaran lapar belum sarapan. Bukan sebab munculnya rasa ingin. Namun, karena ada satu pertimbangan tersendiri.

Teman-teman di Wild West sana menyebut, makan di antara waktu sarapan dan makan siang itu sebagai brunch. Sarapan telat, demi menambal rasa lapar sekaligus mengisi energi.

Nah, tidak jarang saya menikmati brunch, kendati pagi sebelumnya telah sarapan. Ada keadaan-keadaan yang mendorong saya untuk mampir.

Beberapa waktu lalu saya lewat di depan lapak Bu Yanti, penjual penganan sarapan: nasi uduk, lontong sayur, bihun saus kacang, gorengan, lontong bumbu.

"Mampir yeuh! Lama nih nggak jajan?"

Dua jam mendekati waktu tengah hari. Olahan bihun menggunduk, bakwan berderet bersama gorengan lainnya, dan enam bungkus lontong di antara cobek besar dan panci-panci. Setelah duduk, barulah saya mendapat keterangan bahwa masih tersedia beberapa porsi nasi uduk, lontong sayur, dan lontong bumbu.

Lontong bumbu. Bumbunya adalah kacang goreng diulek bersama garam, cabai rawit, dan air matang. Bumbu kacang diaduk dengan irisan lontong. Terkadang orang juga menamakannya doclang. Ada juga yang menyebutnya pesor (nama lain dari lontong).

Lontong bumbu (Dokumentasi Pribadi)

Pesor atau lontong (Dokumentasi Pribadi)

Doclang versi bumbu ulek. Doclang versi hemat, harga Rp5.000 seporsi. Berbeda dengan umumnya doclang yang dijual di Jembatan Merah, Kota Bogor, dengan bumbu matang dan isi lebih beragam (tahu, telur, kentang).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline