Pagi itu lorong sekolah terasa asing bagi saya.
Lantai yang biasanya mengilap kini kusam, dedaunan berserakan di halaman, dan toilet mulai berbau tak sedap. Guru dan siswa mencoba menjaga kebersihan lewat jadwal piket, tetapi hasilnya jauh dari kata memadai.
Di tengah suasana yang tak biasa itu, saya teringat satu nama: Udin, petugas kebersihan yang dulu rajin menyapa siapa saja yang lewat.
Kini, Udin tak lagi hadir. Bukan karena ia berhenti, melainkan karena posisinya sebagai tenaga outsourcing telah resmi dihapus, setelah sumber pendanaannya tak lagi tersedia.
Sekolah kami pun kini berdiri tanpa tenaga kebersihan yang memadai. Di satu sisi, kebijakan ini membuat administrasi sekolah terlihat lebih bersih.
Namun di sisi lain, realitas di lapangan justru berantakan. Ironis, bukan?
Dari Honorer ke Outsourcing
Dulu, sekolah masih bisa mengangkat tenaga honorer untuk posisi seperti petugas kebersihan, satpam, dan administrasi. Meski gaji mereka tak besar, ada ikatan emosional yang terjalin: mereka merasa menjadi bagian dari keluarga besar sekolah.
Namun, ketika pemerintah melarang pengangkatan honorer baru, sekolah kehilangan fleksibilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Sebagai solusi sementara, muncullah skema outsourcing.
Di atas kertas, ini tampak rapi: sekolah bekerja sama dengan perusahaan penyedia jasa, lalu tenaga kebersihan dikirim sesuai kebutuhan.
Namun, praktiknya tidak selalu berjalan mulus.
Ternyata sistem outsourcing pun tak luput dari potensi penyelewengan.
Dana yang seharusnya terarah jelas sering kali melewati jalur yang berliku-liku.
Sistem yang lemah membuat niat baik mudah terhenti di tengah jalan, meninggalkan ketidakpuasan dan prasangka di mana-mana.
Selanjutnya pada akhirnya, para tenaga kebersihan seperti Udin berada di posisi paling rentan.
Mereka bekerja di garis depan, tetapi menjadi pihak pertama yang dihapuskan ketika dana tak lagi tersedia.
Sementara itu, guru dan siswa hanya bisa menyaksikan keadaan memburuk sedikit demi sedikit, tanpa banyak yang bisa dilakukan.
Lingkaran Serba Salah