Pernahkah kita menonton sebuah film lalu merasa, “Wah, ini beda banget dari yang lain”? Itulah yang saya rasakan saat pertama kali menyaksikan film The Raid (2011).
Latar Belakang Perfilman Indonesia di 2010-an
Di awal dekade 2010-an, perfilman Indonesia masih identik dengan alur cerita drama, horor, dan komedi. Genre action kerap hadir, tetapi jarang mendapat perhatian lebih karena kualitas teknis yang belum seimbang dengan ekspektasi penonton.
Situasi tersebut berubah drastis ketika The Raid hadir pada 2011. Film ini tidak hanya menawarkan sebuah cerita yang sederhana namun menegangkan, tetapi juga menghadirkan standar baru dalam sinema laga Indonesia.
Disutradarai Gareth Evans dan dibintangi Iko Uwais, The Raid berhasil memperlihatkan bagaimana sebuah film action bisa tampil begitu intens dan berkelas. Koreografi silat yang dieksekusi dengan detail, pergerakan kamera yang dinamis, serta atmosfer tegang dari awal hingga akhir menjadikan film ini berbeda dari kebanyakan produksi lokal pada masanya.
Banyak kritikus menyebut The Raid sebagai film yang membuat penonton Indonesia tersadar bahwa film lokal juga mulai mampu tampil setara dengan produksi internasional.
Pengakuan Internasional dan Efek Domino
Keistimewaan The Raid bukan hanya pada teknis adegan laga. Film ini juga menembus pasar global, diputar di berbagai festival film dunia, hingga menuai pujian dari media internasional. Pencapaian tersebut membawa efek domino, yang membuat nama Indonesia makin dikenal dalam kancah perfilman action, sementara penonton lokal pun mendapat standar baru dalam menilai sebuah film.
Setelah The Raid, ekspektasi publik terhadap kualitas film action Indonesia pun berubah signifikan.