Lihat ke Halaman Asli

Tragedi yang berulang : Anak-anak Jadi Korban

Diperbarui: 7 Oktober 2025   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tragedi yang Berulang: Anak-anak Jadi Korban

Pada hari Jumat, 3 Oktober 2025, ratusan siswa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, dilaporkan keracunan setelah menyantap menu MBG. Korban awalnya dilaporkan sekitar 100 siswa dari beberapa SD (SD GMIT Soe 2, SD Advent, SDI Oenasi) yang mengalami gejala seperti mual, pusing, dan kondisi tidak stabil.

Seiring waktu, jumlah korban melonjak drastis. Data yang dilaporkan ke publik menyebutkan jumlah korban bisa mencapai 331 orang. Pemerintah daerah TTS bahkan mengirim sampel MBG yang dicurigai ke BPOM untuk diuji lebih lanjut.

Kejadian ini bukan insiden tunggal. Di berbagai daerah, laporan masalah kualitas MBG mulai dari bau mencurigakan, makanan berulat, hingga keracunan massal telah beberapa kali muncul.  Dalam konteks itulah, apa yang terjadi di Soe bukan sekadar kecelakaan melainkan cermin dari kelemahan mendasar dalam tata kelola, pengawasan, dan akuntabilitas program MBG.

Analisis: Di Mana Titik Gagalnya?

Agar tragedi seperti ini tak terus terulang, kita perlu menelisik akar persoalannya. Beberapa poin krusial yang perlu diperhatikan:

1. Estafet tanggung jawab yang kabur

Program MBG melibatkan banyak pihak: Kementerian Kesehatan / Badan Gizi Nasional (BGN) di tingkat pusat, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten), dinas kesehatan lokal, penyedia dapur (SPPG : Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi), dan sekolah sebagai penerima. Ketika terjadi keracunan, setiap pihak bisa saling menunjuk bahwa "bukan urusan kami."

Dalam insiden Soe, dapur MBG berada di bawah SPPG Kota Soe 1 yang dikelola oleh Yayasan Peduli Timorana Mandiri. Namun lembaga pengawas yang seharusnya ikut memastikan kualitas dari hulu (pemilihan bahan baku, sanitasi dapur, distribusi) tampak belum konsisten dijalankan.

Ketika kontrol kualitas di tingkat lokal lemah, efeknya langsung ke anak-anak di sekolah korban paling rentan yang harusnya dilindungi.

2. Lemahnya sistem pengawasan dan audit

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline