Yus Rusila Noor
yus.noor@gmail.com
Setelah pengajian hari ahad pagi, sambil berusaha menikmati slow living berjalan di komplek perumahan, saya berjumpa dengan 3 ekor kucing berwarna putih mulus dan polos. Nampaknya mereka adalah Ibu dan dua ekor anaknya. Saya lalu teringat omongan ringan para tetangga dan juga di sosial media bahwa kucing putih adalah penurut dan cenderung lembut, berlawanan dengan kucing oyen yang cenderung dianggap barbar dan pembuat masalah. Lalu pikiran saya melayang bertanya mengapa manusia begitu mudah memberi label pada sesuatu, bahkan pada kelompok warna kucing? Tidak hanya itu, bahkan untuk suatu suku atau bangsa manusiapun kita cenderung memberikan label tertentu, katakanlah suku Sunda sebagai kumpulan manusia yang "santai", Jawa yang "halus" atau suku Minang yang "perantau". Semua itu terdengar sepele, tapi di baliknya sepertinya tersimpan mekanisme psikologis dan sejarah panjang tentang bagaimana otak dan budaya kita memproses dunia sosial yang kompleks.
Stereotipe sebagai Cara Otak Menghemat Energi
Dalam psikologi sosial, stereotipe disebut sebagai jalan pintas kognitif, cara otak menyederhanakan dunia yang penuh informasi. Kita mengelompokkan, menilai, dan memberi makna agar tidak kelelahan berpikir. Sayangnya, efisiensi ini sering dibayar mahal karena keakuratan menurun dan individualitas menjadi menguap.
Di tingkat budaya, stereotipe sering lahir dari sejarah yang kemudian menempel dalam ingatan. Citra orang Minangkabau yang dikenal gigih berdagang dan suka merantau, misalnya, sesungguhnya tumbuh dari tradisi sosial yang mengharuskan anak muda Minang mencari kehormatan dan pengalaman di luar kampung. Merantau bukan sekadar kebiasaan, tetapi strategi budaya, sebuah institusi sosial yang membentuk karakter ekonomi dan mentalitas mereka.
Sebaliknya, stereotipe orang Sunda yang dianggap "santai" dan "terlalu menikmati alam" punya akar sejarah keras di masa lalu. Di masa kolonial, sistem pertanian Sunda yang menyesuaikan diri dengan musim dan cenderung menolak sistem kerja paksa yang memang dipaksakan oleh penjajah, sering kemudian dipersepsikan oleh penjajah sebagai tanda kemalasan. Padahal itu adalah bentuk ketahanan budaya dan ekonomi yang menunjukkan kecerdasan adaptasi, atau dalam bentuk lain, itu adalah bentuk pembangkangan terhadap eksploitasi penjajah. Perspektif yang timpang inilah yang kemudian diwariskan tanpa disadari dari generasi ke generasi.
Kehangatan dan Kompetensi sebagai Dimensi Stereotipe
Susan T. Fiske, seorang psikolog sosial terkemuka, memperkenalkan Stereotype Content Model (SCM), model yang menjelaskan bahwa dimanapun kita berada, stereotipe selalu bergerak di dua sumbu utama, yaitu kehangatan (warmth) dan kompetensi (competence). Kita menilai suatu kelompok hangat bila kita percaya mereka punya niat baik terhadap kita, dan kompeten bila kita yakin mereka mampu menjalankan niat itu.
Kelompok yang dianggap "gigih tapi tidak terlalu bersahabat" biasanya dipandang kompeten tapi kurang hangat, yang kemudian memunculkan rasa kagum bercampur curiga. Sebaliknya, kelompok yang "ramah tapi dianggap kurang mampu" memunculkan rasa kasihan atau paternalisme. Di sinilah letak paradoksnya, dimana perasaan positif sekalipun bisa mengandung ketimpangan.
Bagaimana Stereotipe Berubah atau Justru Menguat
Stereotipe bisa luntur ketika seseorang bertemu langsung dengan keragaman. Pengalaman hidup bersama orang-orang berbeda etnis, kebangsaan, agama, atau latar belakang membuat otak kita "memperbarui kategori" yang selama ini tertanam di memori. Kita mulai melihat individu, bukan label. Inilah yang disebut decategorization, suatu proses sosial yang membuat pandangan kita lebih jernih.