Namun, sebaliknya, stereotipe juga bisa mengeras meskipun tanpa pengalaman langsung. Media massa dan media sosial memainkan peran besar disini. Melalui proses bias konfirmasi, kecenderungan hanya mencari informasi yang mendukung keyakinan kita, serta ketersediaan kognitif, Â menilai sesuatu berdasarkan seberapa sering kita melihatnya di berita atau linimasa, maka gambaran tentang suatu kelompok bisa terasa benar, padahal belum tentu akurat.
Tak heran, lelucon tentang kucing oyen atau Stereotipe etnis tertentu bisa terus hidup dan diwariskan, bahkan oleh orang yang tak pernah mengalami langsung.
Bahasa, Media, dan Kuasa Pelabelan
Para pemikir seperti Noam Chomsky, George Orwell, dan Umberto Eco telah lama mengingatkan bahwa bahasa dan media bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga alat kekuasaan. Melalui bahasa, manusia membentuk dan memelihara realitas sosial.
Chomsky menyebut media sebagai filter propaganda yang bisa mengarahkan cara kita berpikir tanpa kita sadari. Orwell mengingatkan bahaya "newspeak", bahasa yang disederhanakan untuk membatasi pikiran kritis. Sementara Eco menulis tentang bagaimana dunia modern menciptakan hiperrealitas, realitas semu yang terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri, karena terus menerus diulang di media.
Prosesnya sederhana tapi berbahaya, stereotipe lahir dari pikiran (membentuk gagasan), lalu berubah menjadi label (menerapkan gagasan itu pada orang lain). Dalam bentuknya yang netral, kedua tahap ini membantu kita memahami dunia sosial secara cepat dan efisien. Namun ketika pelabelan itu terus diulang tanpa koreksi atau konteks, ia dapat bertransformasi menjadi stigmatisasi, bentuk penilaian yang menyingkirkan, membatasi, bahkan merendahkan kelompok tertentu. Dan ketika stigma itu mengakar dalam percakapan publik, ia menjelma menjadi "kebenaran sosial" yang sulit digugat.
Kembali ke Beranda untuk Melampaui Cerita yang Diulang
Pada akhirnya, membicarakan Stereotipe berarti berbicara tentang perjuangan manusia untuk menyeimbangkan antara efisiensi berpikir dan kejujuran memahami. Otak kita memang dirancang untuk menyederhanakan, tetapi hati kita seharusnya mampu melihat lebih jauh dari itu.
Sebab siapa pun yang pernah hidup dengan kucing oyen yang lembut dan penurut, atau kucing putih yang bandel dan barbar, tahu betul bahwa realitas tak pernah sesederhana cerita yang diulang di media sosial.
Stereotipe, pada hakikatnya, adalah kisah yang disampaikan berulang-ulang sampai terdengar seperti kebenaran, padahal ia hanyalah bayangan dari kebenaran yang lebih luas, yang hanya bisa kita temukan ketika berani melihat manusia (dan kucing) sebagai individu yang utuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI