Pernahkah kamu menunda sesuatu karena takut gagal? Aku pernah. Bahkan, lebih dari sekali.
Dulu, aku sering ragu saat ingin memulai sesuatu yang baru entah dalam pelayanan, kuliah, atau hal-hal sederhana seperti ikut lomba menulis atau berbicara di depan umum. Ada suara kecil di dalam hati yang berkata, Bagaimana kalau gagal? Bagaimana kalau tidak berhasil? Dan anehnya, suara itu begitu kuat sampai-sampai aku benar-benar tidak jadi mencoba.
Namun suatu hari, aku sadar bahwa rasa takut itu bukan membuatku aman, tapi justru membuatku tidak berkembang. Aku memang tidak gagal, tapi aku juga tidak maju ke mana-mana.
Gagal Tapi Belajar
Aku masih ingat ketika pertama kali ikut lomba menulis di kampus. Saat itu aku penuh semangat, yakin bahwa tulisanku akan diperhitungkan.
Tapi ketika hasilnya diumumkan, namaku bahkan tidak masuk daftar peserta terbaik. Rasanya kecewa sekali seolah semua usaha yang aku kerjakan tidak ada artinya. Aku sempat berpikir, Mungkin memang aku tidak punya bakat menulis.
Namun setelah beberapa hari merenung, aku mencoba membaca kembali tulisanku. Di situ aku sadar: bukan aku yang tidak bisa, tapi aku belum cukup belajar. Aku memperbaiki cara menulis, belajar dari artikel orang lain, dan terus mencoba lagi.
Beberapa bulan kemudian, aku menulis lagi kali ini tulisanku diterima dan bahkan mendapat banyak tanggapan positif di Kompasiana. Dari situ aku belajar bahwa kegagalan pertama bukan akhir, tapi awal dari proses pembentukan diri.
Gagal Itu Bukan Aib, Tapi Guru yang Jujur
Banyak orang takut gagal karena khawatir dianggap lemah. Padahal, gagal itu hal yang wajar. Gagal bukan berarti kita tidak mampu, melainkan kita sedang belajar cara yang lebih baik.
Lihatlah tokoh besar seperti Thomas Edison. Ia gagal ribuan kali sebelum berhasil menemukan bola lampu. Tapi ia tetap berkata, Saya tidak gagal, saya hanya menemukan ribuan cara yang tidak berhasil.
Begitu juga dalam kehidupan iman kita. Kadang kita merasa gagal menjadi pribadi Kristen yang baik gagal menahan emosi, gagal menjaga kekudusan, gagal dalam pelayanan. Tapi Tuhan tidak menilai kita dari berapa kali jatuh, melainkan dari seberapa besar kemauan kita untuk bangkit.
Aku sendiri pernah mengalami masa di mana aku merasa jauh dari Tuhan karena kesalahan yang aku buat. Tapi justru di saat terendah itu, aku belajar arti kasih karunia yang sejati. Aku sadar, kegagalan membuatku semakin bergantung kepada Tuhan, bukan kepada kemampuan diri sendiri.