Seminggu kemudian, Malini menemukan sebuah catatan kecil di jalan setapak. Dengan tulisan tangan yang rapi dan sedikit miring, tertulis,
"Je vous vois passer. Vous tes le vent du matin."
Aku melihatmu lewat. Kaulah angin pagi.
Dia tahu dia seharusnya tidak memungutnya. Bahwa itu berbahaya. Namun dia melipatnya dan memasukkannya ke dalam saku gaunnya.
Malam itu juga, dia tidak bisa tidur.
Dia pergi ke kebun, berdiri di antara pohon-pohon asam jawa, dan menghirup kegelapan. Angin beraroma laut dan tanah. Dan di antara keduanya, lavender.
Ayahnya pernah menanam tanaman itu di kebun belakang, secara iseng, menentang saran tetangga. Lavender bukan untuk daerah tropis, kata mereka. Namun tanaman itu tumbuh, berbunga, dan hidup.
Malini berdiri di sana, bertelanjang kaki, gaunnya di atas lutut, bertanya-tanya apakah pria ini---Pierre, seperti yang kemudian dia ketahui---akan membawa kemalangan baginya.
Atau sebuah kenangan.