Pengantar
Pukul tujuh malam. Selasar Kolese Kanisius masih ramai dengan panitia yang berlalu-lalang membawa kardus, menata kursi, dan berbicara lewat handy-talky dengan nada lelah. Di sudut ruangan, koordinator bidang kepanitiaan saya duduk dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kelelahan---matanya sayu, bahunya turun, tapi tangannya masih sibuk mengetik di laptop. Ini baru hari ketiga CC Cup XL 2025, dan kami semua tahu masih ada empat hari lagi yang harus kami lalui.
Inilah pemandangan yang tidak pernah terlihat oleh penonton yang bersorak di tribun. Inilah cerita yang tidak tercatat dalam daftar pemenang. Ini adalah kisah 500 panitia yang memilih untuk lelah, memilih untuk bertanggung jawab, dan memilih untuk terus berdiri meskipun kaki sudah tidak sanggup melangkah lagi.
Rutinitas yang Menguras
Sabtu pagi pertama, alarm berbunyi pukul 5.30. Kami berkumpul di sekolah sebelum matahari sepenuhnya terbit. Briefing dimulai pukul 6.30, dan sejak saat itu hingga malam hari pukul delapan, kami tidak pernah benar-benar berhenti. Minggu, rutinitas yang sama terulang. Dua hari pertama itu terasa seperti maraton tanpa garis finis yang jelas.
Minggu berikutnya lebih brutal. Senin sampai Jumat, kami masuk sekolah seperti biasa, mengikuti pelajaran hingga pukul 12 siang. Lalu, tanpa jeda untuk benar-benar beristirahat, kami langsung berganti seragam dan bersiap untuk CC Cup yang berlangsung hingga malam. Pulang ke rumah pukul delapan atau sembilan malam sudah menjadi hal yang lumrah. Makan malam terburu-buru, mandi sebentar, lalu mencoba membuka buku pelajaran dengan mata yang sudah setengah terpejam.
Sebagai siswa kelas 12, minggu ketiga adalah mimpi buruk tersendiri. Ulangan harian menumpuk. Tugas research paper yang deadline-nya semakin dekat terus menghantui. Belum lagi ada Tryout, TKA dari pemerintah, Penilaian Tengah Semester, hingga persiapan SAT dan IELTS yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Semua berjalan bersamaan dengan CC Cup yang menuntut tenaga, waktu, dan fokus penuh.
Saya ingat satu malam, duduk di bus dalam perjalanan pulang, saya membuka kalender di ponsel dan melihat deretan jadwal merah yang bertumpuk. Rasanya seperti berlari di treadmill yang kecepatannya terus dinaikkan, dan saya tidak tahu kapan boleh berhenti.
Masalah Demi Masalah
Kalau ada yang berpikir bahwa menjadi panitia hanya soal datang, mengawasi lomba, lalu pulang, mereka salah besar. Setiap hari, kami menghadapi masalah baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.