Lihat ke Halaman Asli

Kembali Korupsi, Kasus Korupsi di Pertamina Melalui Modus Mencampur Pertalite dengan Pertamax

Diperbarui: 27 Februari 2025   13:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tersangka kasus korupsi Pertamina, Direktur Utama Patra Niaga Rivan Siahaan. ANTARAFOTO/Rivan Awal Lingga

Masyarakat Indonesia ditipu oleh pemegang kekuasaan, Dirut Pertamina Patra Niaga, melalui BBM yang di oplos pertalite dengan pertamax. Presiden Prabowo Subianto bertekad keras untuk membangun suatu pemerintah yang bersih dan bebas korupsi. Tekad Prabowo direspon cepat oleh Kejaksaan Agung dengan menetapkan dan menahan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata Kelola minyak mentah dan produk kilat PT Pertamina (Persero), sub holding, dan Kontraktor Kontra Kerja Sama (KKSK) periode 2018-2023.

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak PIdana Khusus (Jampidsus) kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan para tersangka terdiri dari empat orang petinggi anak perusahaan PT Pertamina dan tiga lainnya dari pihak swasta. Kerugian yang dialami oleh negara atas korupsi tersebut bernilai Rp193,7 Triliun. Kerugian negara bersumber dari ekspor minyak mentah dalam negeri, impor minyak mentah melalui broker, impor bahan bakar minya (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.

Dalam kasus tersebut, Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa BBM RON 92 dibeli oleh Pertamina Patra Niaga dari PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) melalui proses pencampuran (blending), yaitu dengan membeli RON 90 (setara Pertalite), lalu mencampurnya di fasilitas penyimpanan (storage) BBM atau depo untuk diubah menjadi Pertamax.

Selain itu, dalam melakukan pengadaan impor minyak mentah dan produk kilat PT Pertamina International Shipping diduga adanya mark up sebesar 13 persen hingga 15 persen. Hal tersebut menguntungkan pihak broker dan dampak adanya impor yang mendominasi pemenuhan kebutuhan minyak mentah, harganya menjadi melangit.

Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa kasus korupsi ini bermula saat pemerintah menetapkan kewajiban pemenuhan minyak mentah dari dalam negeri pada periode 2018-2023. Kebijakan tersebut mengharuskan prioritas penggunaan pasokan minyak mentah dari dalam negeri, sementara Pertamina diwajibkan mencari sumber minyak dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.

Hal itu diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 42/2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri.

"Akan tetapi, berdasarkan penyidikan kejaksaan, tiga Direktur Sub Holding Pertamina sengaja mengkondisikan melalui rapat optimasi hilir untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan ara impor". Kata Qohar

Dalam dugaan kasus korupsi ini, para tersangka diduga sengaja merekayasa penurunan produksi kilang, kemudian menolak produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan alasan bahwa minyak tersebut tidak memiliki nilai ekonomis. Padahal, harga yang ditawarkan masih berada dalam kisaran Harga Perkiraan Sendiri (HPS).

PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) melakukan impor minyak mentah, sedangkan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk hasil kilang. "Jika dibandingkan dengan biaya produksi minyak bumi dalam negeri, terdapat perbedaan harga yang cukup tinggi. Selisih harga tersebut diduga dimanfaatkan oleh para tersangka untuk melakukan tindakan korupsi.

TUJUH TERSANGKA KORUPSI 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline