Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Social Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya. Tiga buku terakhir nya: (1) 'Membaca Identitas, Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas: Suatu Tinjauan Filsafat dan Psikologi' (Gramedia Pustaka Utama, 2023); (2) 'Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital' (Zifatama Jawara, 2025), dan (3) 'Kecerdasan Jamak, Keberagaman dan Inklusivitasnya' (Zifatama Jawara: 2025).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mengapa Jawa Tengah Gelisah, Kalimantan Timur Tidur Nyenyak?

17 September 2025   09:36 Diperbarui: 17 September 2025   11:17 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Narasi besar sering kali menutupi realitas kecil." ~ Jean-Franois Lyotard.

Ketika Makoto Shinkai merilis Suzume no Tojimari, dunia terpesona oleh metafora pintu-pintu trauma yang terbuka di mana-mana. Di Jepang, pintu itu adalah gempa dan kehilangan.

Di Indonesia, pintu itu mungkin adalah statistik kesehatan jiwa yang baru saja dibuka oleh BPJS Kesehatan. Dan pintu paling gelisah ternyata berada di Jawa Tengah.

Menurut data BPJS yang dirilis melalui Kompas.com (17 September 2025), Jawa Tengah mencatat 3,4 juta kasus gangguan jiwa dalam rentang 2020–2024. Angka ini menjadikannya provinsi dengan catatan tertinggi secara nasional.

Sebaliknya, Kalimantan Timur hanya mencatat 404 ribu kasus. Perbedaan mencolok ini bukan sekadar angka, melainkan lanskap batin kolektif yang menuntut pembacaan ulang.

Data BJPS terkait Kesehatan Mental (Sumber: Kompas.com, 17/09/2025).
Data BJPS terkait Kesehatan Mental (Sumber: Kompas.com, 17/09/2025).

Kita tak sedang membandingkan statistik. Kita sedang mengurai kegelisahan yang tersembunyi di balik struktur sosial.

Dalam perspektif psikologi sosial kritis, angka tinggi di Jawa Tengah bisa dibaca sebagai akumulasi tekanan sosial yang dibungkus norma religius dan budaya. Di wilayah yang menjunjung tinggi harmoni dan kepatuhan, ekspresi emosi sering kali ditekan demi menjaga citra.

Seperti rumah yang selalu tampak rapi, tapi menyimpan bau lembap di balik lemari. Masyarakat yang terlalu menekan ekspresi bisa memproduksi gangguan jiwa secara sistemik.

Ini seturut dengan cermatan Judith Herman dalam Trauma and Recovery (1992). Ia menegaskan bahwa trauma bukanlah kelemahan, melainkan respons terhadap situasi yang tak bisa dikendalikan—dan sering kali tak diberi ruang untuk diproses.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun