"Narasi besar sering kali menutupi realitas kecil." ~ Jean-Franois Lyotard.
Ketika Makoto Shinkai merilis Suzume no Tojimari, dunia terpesona oleh metafora pintu-pintu trauma yang terbuka di mana-mana. Di Jepang, pintu itu adalah gempa dan kehilangan.
Di Indonesia, pintu itu mungkin adalah statistik kesehatan jiwa yang baru saja dibuka oleh BPJS Kesehatan. Dan pintu paling gelisah ternyata berada di Jawa Tengah.
Menurut data BPJS yang dirilis melalui Kompas.com (17 September 2025), Jawa Tengah mencatat 3,4 juta kasus gangguan jiwa dalam rentang 2020–2024. Angka ini menjadikannya provinsi dengan catatan tertinggi secara nasional.
Sebaliknya, Kalimantan Timur hanya mencatat 404 ribu kasus. Perbedaan mencolok ini bukan sekadar angka, melainkan lanskap batin kolektif yang menuntut pembacaan ulang.
Kita tak sedang membandingkan statistik. Kita sedang mengurai kegelisahan yang tersembunyi di balik struktur sosial.
Dalam perspektif psikologi sosial kritis, angka tinggi di Jawa Tengah bisa dibaca sebagai akumulasi tekanan sosial yang dibungkus norma religius dan budaya. Di wilayah yang menjunjung tinggi harmoni dan kepatuhan, ekspresi emosi sering kali ditekan demi menjaga citra.
Seperti rumah yang selalu tampak rapi, tapi menyimpan bau lembap di balik lemari. Masyarakat yang terlalu menekan ekspresi bisa memproduksi gangguan jiwa secara sistemik.
Ini seturut dengan cermatan Judith Herman dalam Trauma and Recovery (1992). Ia menegaskan bahwa trauma bukanlah kelemahan, melainkan respons terhadap situasi yang tak bisa dikendalikan—dan sering kali tak diberi ruang untuk diproses.