Program makan di sekolah bukanlah hal baru di tingkat global. Laporan The State of School Feeding Worldwide 2022 dari Program Pangan Dunia PBB (WFP) mencatat, 418 juta anak di seluruh dunia telah menerima makanan di sekolah (Kompas,Februari 2025).
Pemerintah Indonesia meluncurkan program Makan Bergizi Gratis sebagai salah satu agenda utama dalam upaya memperkuat kualitas sumber daya manusia. Kebijakan ini sejalan dengan praktik baik di berbagai negara, di mana penyediaan makanan di sekolah terbukti mampu meningkatkan status gizi, menjaga kesehatan, serta mendorong prestasi belajar para siswa.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah sejatinya lahir dari niat mulia: memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang sehat di sekolah. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan serangkaian masalah: mulai dari kasus siswa keracunan, dapur MBG yang tutup karena anggaran dipangkas, hingga menu yang jauh dari standar sehat. Alhasil, program yang diharapkan meningkatkan kualitas generasi penerus malah menuai kritik dan kekecewaan publik.
Yang menarik, di tengah hiruk pikuk masalah ini, ternyata ada banyak fakta kontras yang muncul: sekolah-sekolah swasta dan sekolah berbasis yayasan keagamaan sudah lebih dari satu dekade menjalankan program serupa tanpa gejolak. Bedanya, program ini berjalan mulus tanpa riak berarti, bahkan jadi salah satu faktor yang memperkuat kepercayaan orang tua kepada sekolah.
Misalnya, sekolah-sekolah di bawah Yayasan Asy-Syukriyyah di Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang sudah menyediakan makan siang bagi siswa selama lebih dari 15 tahun, dikelola secara internal dengan sistem yang rapi. Begitu pula SD Muhammadiyah 1 Ketelan Solo yang sejak 10 tahun lalu telah menjalankan program makan siang sehat untuk siswanya. Tidak ada cerita keracunan, tidak ada dapur yang tutup karena anggaran dipotong, dan tidak ada menu seadanya. Semua berjalan tertib karena manajemen sekolah sadar bahwa kesehatan siswa adalah tanggung jawab utama
Contoh lain, SMP Al Muttaqin di Tasikmalaya bahkan memilih tidak bergabung dengan program MBG pemerintah, melainkan tetap menjalankan pengelolaan makan siang melalui dapur sekolah sendiri. Hasilnya? Program berjalan lancar, orang tua senang, siswa sehat, dan kepercayaan masyarakat tetap terjaga. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa konsep makan bergizi di sekolah sebenarnya bukan hal baru---hanya saja perbedaan manajemen membuat hasilnya bertolak belakang dengan apa yang terjadi di program MBG pemerintah.
Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa konsep yang sama, ketika dijalankan pemerintah, penuh masalah, sementara di tangan sekolah-sekolah swasta dan yayasan justru mulus tanpa hambatan? Jawabannya ada pada tata kelola.
Sekolah swasta dan yayasan mengelola program ini dengan sistem manajemen ringkas, pengawasan ketat, serta partisipasi orang tua yang nyata. Reputasi sekolah menjadi jaminan mutu, sehingga kualitas makanan dijaga dengan sungguh-sungguh.
Di sisi lain, pemerintah dengan rantai birokrasi panjang, pengawasan lemah, dan ketergantungan pada alokasi anggaran yang fluktuatif justru membuka ruang bagi inefisiensi bahkan kelalaian.
Fenomena ini menjadi cermin bahwa masalah MBG bukan pada konsepnya, melainkan pada manajemen pelaksanaannya. Pemerintah perlu berani belajar dari praktik baik sekolah-sekolah swasta dan yayasan: memperpendek rantai distribusi, menyerahkan pengelolaan langsung ke unit sekolah, melibatkan orang tua dalam pengawasan, serta memastikan standar dapur dan gizi ditegakkan. Dengan demikian, niat mulia memberi gizi gratis benar-benar sampai pada tujuan, bukan terjebak dalam angka-angka laporan semata.