Bagi sebagian orang, pergi ke rumah sakit hanyalah soal memesan taksi online atau membawa kendaraan sendiri.
Tetapi bagi banyak pasien dari pelosok, perjalanan ke rumah sakit rujukan adalah perjuangan yang panjang dan mahal, dan sering kali lebih berat daripada sakitnya sendiri.
Bayangkan seorang ibu dari desa terpencil, memeluk anaknya yang sakit keras, berangkat subuh-subuh naik ojek dari kampung, menyeberangi sungai dengan perahu kecil, lalu melanjutkan perjalanan berjam-jam naik bus antarkota.
Semua itu bukan untuk liburan, bukan pula untuk mencari nafkah, tapi demi satu harapan: agar anaknya bisa bertemu dokter spesialis di rumah sakit rujukan.
Setiap kali kontrol, mereka harus menjual hasil panen, meminjam uang, atau bahkan menggadaikan barang-barang berharga demi ongkos pulang-pergi yang tidak sedikit.
Padahal kontrol itu harus rutin, sebulan sekali, kadang dua minggu sekali. Tak jarang, mereka terpaksa menunda kontrol. Bukan karena merasa sehat, tapi karena tidak punya ongkos untuk berangkat.
Kesehatan adalah hak, bukan kemewahan. Dan akses menuju pengobatan seharusnya tidak menjadi beban tambahan.
Sudah waktunya kita memperjuangkan agar biaya transportasi menuju rumah sakit rujukan juga menjadi bagian dari jaminan kesehatan. Karena bagi mereka yang tinggal jauh dari pusat layanan, perjalanan menuju kesembuhan itu tidak pernah gratis.
Hingga hari ini, biaya transportasi menuju rumah sakit, terutama RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat), masih menjadi tanggungan pribadi pasien. Padahal, tak sedikit pasien yang dirujuk ke RSUP berasal dari wilayah yang jauh, bahkan lintas kabupaten atau provinsi.
Sekali lagi, kondisi ini tentu saja akan terasa sangat berat bagi pasien dengan penyakit kronis yang harus kontrol secara rutin, seperti pasien ginjal, kanker, lupus, atau anak dengan penyakit langka.