Bahasa, diskursus, dan kekuasaan di dalam kehidupan masyarakat merupakan sesuatu yang tanpa disadari dimiliki setiap individu. Para ahli masih berdebat mengenai penyebab awal tiga elemen tersebut dalam modernitas.
Berkembangnya zaman, maka berkembang juga ketiga elemen ini, baik dalam lingkup mikrososial hingga globalisasi. Adanya keterkaitan ketiga ini membuat bahasan ini menjadi menarik sejak zaman dahulu, tidak lepas dari kelompok Frankfurt dengan teori kritis ataupun tokoh postmodern, Michel Foucault.
Dalam tulisan ini, kami penulis mencoba mengurai penjabaran pembedahan bahasa, diskursus dan kekuasaan dan diuji pada kasus Covid-19.
Tahun 1923 berdiri Institute for Social Research di bawah pimpinan Max Horkheimer. Institute ini yang kemudian berkembang sebagai Frankfurt School atau mazhab Frankfurt adalah pusat penelitian interdisipliner yang terkait dengan Universitas Frankfurt di Jerman dan bertanggung jawab atas lintasan teori kritis dalam ilmu sosial kontemporer.
Bersama Theodor Adorno, Horkheimer memberi mazhab ini orientasi filofosis sebagaimana direfleksikan dalam The Dialectic of Enlightenment. Melalui metode dialektika para teoritisi Frankfurt menganalisis berbagai fenomena sosial.
Tiga generasi teoritikus kritis telah muncul dari Institut itu. Generasi pertama diwakili paling menonjol pada abad ke-20 oleh Max Horkheimer, Herbert Marcuse dan Theodor Adorno yang disebut generasi kedua dari institut ini diwakili secara terpusat oleh Jrgen Habermas, yang karyanya telah berfungsi sebagai titik fokus dari berbagai teori kritis.(Valdivia & Kellner, 2012) Generasi ketiga dari Sekolah Frankfurt diwakili oleh Axel Honneth.
Para teoritisi Frankfurt mengkombinasikan argumen Weber tentang rasionalisasi dan kekecewaan masyarakat dengan teori Marx tentang alienasi dan fetisme komoditas.
Komoditas, baik produk material maupun budaya, memperdaya manusia, menghindarkan mereka dari kemampuan berpikir secara mendalam dan membuatnya terpesona.
Bagaimana dialektika pencerahan sebelum muncul akal modern? umat manusia hidup dalam kegelapan alam dan menyerah pada mitos, lalu pencerahan membebaskan manusia dari mitos dan membangun kedaulatan melalui pengetahuan (Adorno dan Horkheimer 2002:2).
Sayangnya, Horkheimer dan Adorno melihat adanya sisi irasional Pencerahan. Pencerahan yang semula dipandang sebagai kemajuan dari cara pandang mitologis, bertransformasi menjadi mitos itu sendiri yang menghasilkan penindasan dan penguasaan manusia dan alam.