Kita tentu masih ingat dengan peristiwa Arab Spring. Sebuah aksi massif dalam bentuk gelombang protes dan revolusi yang terjadi di Jazirah Arab di rentang tahun 2010 - 2012.
Peristiwa ini bermula di Tunisia setelah seorang pedagang kaki lima, Mohamed Bouazizi nekad membakar diri sebagai bentuk protes terhadap tindakan aparat pemerintah yang berlaku tidak adil pada usahanya. Dia adalah seorang pedagang kaki lima di Sidi Bouzid, Tunisia. Kesehariannya berjualan buah dan sayuran di jalanan untuk menghidupi keluarganya.
Gerakan ini kemudian menyebar ke berbagai negara arab lainnya seperti Mesir, Libya, Suriah, dan Yaman, dengan tuntutan utama mulai dari reformasi politik, demokrasi, hingga keadilan sosial.
Peristiwa Arab Spring tak hanya menyebabkan jatuhnya beberapa rezim otoriter, tetapi juga memicu konflik berkepanjangan di beberapa negara di jazirah arab.
Sementara peristiwa Tragedi Tiananmen Square, ini terjadi pada 4 Juni 1989 di Beijing, China. Saat itu pemerintah China menindak keras demonstrasi yang pro-demokrasi yang dipimpin oleh mahasiswa. Aksi demonstran awalnya hanya menuntut reformasi politik, kebebasan berbicara, serta pemberantasan korupsi.
Namun diluar dugaan, pemerintah rupanya merespons dengan memberlakukan darurat militer dan berujung dengan mengerahkan tentara serta tank untuk membubarkan aksi protes tersebut.
Total jumlah korban jiwa hingga sekarang masih menjadi perdebatan, tetapi insiden ini tetap saja menjadi salah satu peristiwa paling sensitif dalam sejarah di Tiongkok modern.
Point Of View
Arab spring
Gelombang revolusi menjadi sebuah wacana publik: apakah penyebab dari gerakan ini? Bagaimana mungkin sebuah revolusi di satu negara menginspirasi negara lain untuk melakukan revolusi?
Fenomena gerakan massa di berbagai negara, yang berani menuntut mundur rezim- rezim otoriter merupakan fenomena baru di kawasan Timur Tengah.