Riza menghela napas panjang, debu-debu halus menari di udara saat sandalnya menyentuh tanah. Lima belas tahun. Sudah selama itu ia tak menginjakkan kaki di Bukit Kenangan. Dulu, bukit ini adalah surga kecilnya, tempat ia melarikan diri dari riuhnya dunia. Sekarang, ia kembali, bukan untuk bermain, melainkan untuk melarikan diri dari kegagalan.
Ia duduk di atas sebongkah batu besar, pandangannya lurus ke arah cakrawala. Mentari mulai merunduk, mewarnai langit dengan spektrum oranye, merah, dan ungu. Hatinya yang gundah perlahan-lahan terasa lebih damai. Tiba-tiba, sebuah suara halus menyapa, "Indah, ya?"
Riza menoleh. Seorang gadis dengan rambut sebahu dan gaun putih berdiri tak jauh darinya. Matanya menatap lurus ke arah matahari terbenam, sama seperti dirinya.
"Ya, indah," jawab Riza singkat.
Gadis itu tersenyum tipis. "Sama seperti dulu. Setiap kali aku datang ke sini, selalu ada yang duduk di batu itu."
"Benarkah?" Riza mengerutkan dahi. "Siapa namamu?"
"Senja. Nama yang diberikan ibuku karena aku lahir saat matahari terbenam." Ia melirik Riza. "Dan kau?"
"Riza," jawab Riza, merasakan koneksi aneh dengan gadis itu. "Apa yang membuatmu datang ke sini?"
"Mencari ketenangan," Senja tersenyum melankolis. "Dunia di bawah sana terlalu bising."
Riza mengangguk. "Aku mengerti. Aku juga. Aku baru saja gagal dalam sesuatu yang sangat penting bagiku."