Setiap orang tua memimpikan anaknya tumbuh menjadi pribadi yang beriman, tangguh, dan sukses. Namun jalan menuju kesuksesan remaja tidaklah otomatis; ia memerlukan pendampingan yang sabar, cerdas, dan penuh kasih. Rasulullah bersabda, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi" (HR. Bukhari-Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa pengasuhan adalah faktor utama dalam membentuk karakter dan arah hidup seorang anak.
1. Pengasuhan sebagai Proses Dua Arah
Remaja bukan sekadar "anak besar", tetapi manusia yang sedang mencari identitas dan makna hidupnya. Maka, pengasuhan terhadap mereka bukan instruksi satu arah, melainkan interaksi dua arah yang saling belajar. Dalam konsep yang dijelaskan oleh Bambang Raditya dan Dewi Ilma Antawati (2025), pengasuhan mencakup proses membesarkan dan mendukung perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual hingga dewasa. Artinya, mendampingi remaja bukan hanya memastikan mereka patuh, tapi juga menyiapkan mereka agar mampu berpikir kritis, berakhlak, dan tangguh menghadapi tekanan zaman digital.
Secara psikologis, teori social learning Albert Bandura menunjukkan bahwa anak belajar melalui pengamatan (observational learning). Keteladanan orang tua lebih efektif daripada seribu nasihat. Maka, jika kita ingin remaja kita berdisiplin, jujur, dan beriman, orang tua harus terlebih dahulu menampilkan perilaku itu dalam keseharian. Dalam Islam, hal ini sejalan dengan prinsip uswah hasanah - teladan baik yang menjadi dasar pendidikan akhlak.
2. Mengasuh dengan Apresiasi, Bukan Sekadar Pujian
Salah satu kunci mendampingi remaja menuju sukses adalah dengan membangun self-esteem (harga diri) melalui apresiasi positif. Materi pengasuhan menegaskan bahwa apresiasi berbeda dari pujian. Pujian berfokus pada hasil, sementara apresiasi menyoroti proses, usaha, dan nilai di balik tindakan anak. Misalnya, alih-alih berkata "Kamu anak paling pintar!", lebih baik mengatakan, "Kamu belajar dengan sungguh-sungguh, semoga Allah membalas ketekunanmu." Kalimat seperti ini tidak hanya menguatkan motivasi intrinsik, tetapi juga menumbuhkan growth mindset - keyakinan bahwa kemampuan dapat berkembang lewat usaha.
Secara empiris, Carol Dweck (2016) menunjukkan bahwa anak yang mendapat apresiasi terhadap usaha, bukan hasil, cenderung lebih tangguh menghadapi kegagalan. Di sinilah relevansi konsep apresiasi Islami - jazakallaahu khoiro (smoga Allah membalas dengan yang lebih baik) - sebagai bentuk penghargaan yang menghubungkan usaha manusia dengan ridha Allah.
3. Komunikasi Positif dan Empatik
Banyak kegagalan orang tua dalam mendampingi remaja disebabkan oleh miskomunikasi. Orang tua terlalu banyak menasihati, sedikit mendengarkan, atau tergesa menghakimi. Padahal, remaja digital hidup dalam dunia yang cepat, cair, dan sensitif terhadap penghargaan diri. Komunikasi yang empatik - dengan memahami perasaan anak terlebih dahulu - akan membuka ruang dialog yang sehat.
Dalam Al-Qur'an, Allah memberi teladan bagaimana berdialog dengan hikmah: "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik"Â (QS. An-Nahl: 125). Maka, membimbing remaja bukan dengan bentakan, tetapi dengan pelukan yang menenangkan.