Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia. Buku: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri. BT 2022. KOTY 2024.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kasus Siswa SMA Merokok: Orangtua Tak Sinkron dalam Mendidik

15 Oktober 2025   20:20 Diperbarui: 16 Oktober 2025   08:04 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana SMAN 1 Cimarga di Provinsi Banten pada Senin (13/10/2025) | KOMPAS.COM/ACEP NAZMUDIN

Baru-baru ini, publik kembali digemparkan oleh sebuah kasus yang menyayat hati dunia pendidikan. Seorang Kepala Sekolah dilaporkan ke pihak berwajib oleh orangtua siswa hanya karena menegur anaknya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Teguran yang sejatinya dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan pembinaan justru dianggap sebagai bentuk kekerasan. Ironis, di tengah usaha menjaga wibawa pendidikan malah justru merekalah yang kini gampang terancam secara hukum.

Peristiwa ini sontak menjadi viral di media sosial. Banyak pihak di kolom komentar menunjukkan dukungan kepada sang Kepala Sekolah. Terlebih setelah 630 siswa di sekolah tersebut melakukan aksi solidaritas yang keliru yakni dengan mogok belajar. Publik merasa bahwa Kepala Sekolah tidak pantas diperlakukan demikian dalam kasus ini. Karena yang beliau lakukan murni demi kebaikan siswa. Dari situ tampak jelas bahwa publik pun masih banyak yang mampu membedakan antara kepedulian kasih sayang dan kekerasan.

Nah, di sisi lain kasus ini menimbulkan pertanyaan besar.
Apakah kita masih menghargai peran sekolah sebagaimana mestinya?
Apakah setiap tindakan tegas dari pihak sekolah kini harus disertai rasa takut akan dilaporkan polisi?
Jika demikian, bagaimana masa depan disiplin di sekolah akan dijaga?

Guru dan Kepala Sekolah adalah figur moral yang bertugas tidak hanya mengajar tetapi juga membentuk karakter. Ketika siswa melakukan pelanggaran berat seperti merokok di sekolah maka itu bukan sekadar kenakalan kecil. melainkan tanda perlunya pembinaan serius. Tetapi sayangnya, tindakan mendidik kini justru dihadapkan pada risiko dikriminalisasi.

Kasus ini bukan yang pertama dan mungkin bukan yang terakhir jika akar masalahnya tidak segera disadari bersama. Di balik kasus ini, tersimpan persoalan mendasar yakni hilangnya komunikasi sehat antara orangtua dan pihak sekolah. Dalam banyak kasus serupa yang muncul bukan dialog melainkan amarah dan laporan kepolisian.

Padahal, pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Ketika orangtua dan guru tidak berjalan seirama maka jelas yang paling dirugikan adalah anak atau peserta didik. Mereka akan tumbuh tanpa batas yang jelas antara benar dan salah. Karena setiap kesalahan selalu ada pembelaan. Di sinilah sesungguhnya krisis nilai itu bermula.

Kasus ini menjadi cermin buram yang menggambarkan betapa rapuhnya hubungan antara keluarga dan sekolah dewasa ini. Seharusnya ketika seorang siswa berbuat salah maka orangtua dan sekolah bersatu untuk memperbaikinya. Bukan malah kompak menyalahkan dan mempermalukan guru dan atau Kepala Sekolahnya.

Ada Sekat Dibangun Orangtua terhadap Sekolah

Hubungan antara orangtua dan pihak sekolah kini terasa seperti terpisah oleh sekat dinding tebal. Padahal keduanya memiliki tujuan yang sama jika ingin anak tumbuh menjadi pribadi yang baik dan bertanggung jawab. Namun yang terjadi ialah komunikasi seringkali digantikan asumsi. Dan kerjasama tergantikan oleh kecurigaan.

Bayangkan jika sejak awal orangtua mau membuka diri. Jika setiap permasalahan dibicarakan secara tenang dan jujur tentu tak perlu ada laporan polisi. Teguran dari guru bisa dimaknai sebagai tanda perhatian, bukan penghinaan. Karena niat seorang pendidik sejati selalu berangkat dari cinta terhadap muridnya.

Guru dan Kepala Sekolah tidak mungkin ingin mencelakai anak didiknya. Kalaupun terjadi tindakan spontan seperti menepuk pundak atau memegang bahu. Maka itu lahir dari refleks keprihatinan, bukan kekerasan. Hanya saja, di zaman serba sensitif ini, tindakan tegas sering disalahartikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun