Setiap karier adalah persimpangan: memilih popularitas atau integritas. Muhammad Ali merelakan gelar demi prinsip moral, Columbus mempertaruhkan segalanya demi visi. Keduanya mengajarkan bahwa kesuksesan tak selalu dicapai dengan jalan konvensional. Apakah keberanian kita diukur dari seberapa besar risiko yang kita ambil, atau dari prinsip kuat diri?
Dalam setiap perjalanan karier atau pengambilan keputusan besar, kita semua dihadapkan pada dilema pilihan: jalur aman yang menjamin popularitas, atau mengambil resiko besar?
Muhammad Ali dan Christopher Columbus menjadi 2 kisah inspiratif bagaimana pilihan berbeda ini diambil. Ali bukanlah sekadar ikon tinju dan Columbus sebagai penjelajah, mereka adalah representasi dari dua kutub filosofi hidup yang saling berhadapan: prinsip moral melawan risiko ambisi.
Ditengah tantangan karier dan tuntutan zaman yang serba pragmatis ini, pelajaran termahal apa yang bisa kita petik dari keduanya? Haruskah kita sebagai individu dan kolektif, berani memilih jalan lain menuju puncak, jalan lain menuju Roma?
Muhammad Ali: Prinsip Moral di Atas Gelar
Muhammad Ali, (Cassius Marcellus Clay, Jr.), sosok yang dijuluki The Greatest, adalah petinju dengan karier paling bersinar di masanya, menjadi legenda tinju dunia hingga kini. Puncaknya bukan hanya gelar juara dunia, tapi juga popularitas global.
Pada 1967, Ali menunjukkan bahwa ada hal yang jauh lebih berharga daripada semua itu: prinsip jati diri. Saat ia menolak wajib militer Amerika Serikat untuk Perang Vietnam dengan alasan keyakinan agama dan moral, Ali tahu risikonya.Â
Konsekuensinya tidak main-main. Pemerintah mencabut gelar juaranya, mendenda, dan melarangnya bertanding selama tiga setengah tahun di usia emasnya (25-29 tahun). Secara kalkulasi karier, ini adalah bunuh diri.
Ali mengajarkan kita bahwa integritas sesungguhnya adalah saat pilihan moral kita berkonsekuensi pada kerugian material terbesar. Ia secara sadar memilih prinsipnya dan mengabaikan popularitas.
Christopher Columbus: Risiko Demi Sebuah Visi