Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

TERVERIFIKASI

Menjangkau Sesama dengan Buku

Bendera Setengah Tiang untuk Jiwa-Jiwa yang Tak Pernah Dihitung

Diperbarui: 30 September 2025   18:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber: detikpedia)

Bendera Setengah Tiang untuk Jiwa-Jiwa yang Tak Pernah Dihitung

Setiap 30 September, bendera di sejumlah instansi (terutama militer dan sekolah) kerap berkibar setengah tiang. Resminya, ini adalah tanda duka atas gugurnya tujuh perwira TNI dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Namun, di balik kain merah-putih yang merunduk itu, ada pertanyaan yang menggema lebih dalam: Untuk siapa sebenarnya kita berduka?

Apakah hanya untuk para jenderal yang namanya diabadikan di monumen dan buku sejarah? Atau juga untuk jutaan rakyat tak bersalah yang nyawanya direnggut dalam gelap tanpa proses, tanpa pengadilan, bahkan tanpa nisan? Mereka yang dihabisi hanya karena dicap "komunis", padahal mungkin hanya pernah membaca puisi Chairil Anwar atau menuntut upah layak di pabrik gula?

Enam puluh tahun berlalu, dan luka itu belum sembuh. Bahkan, ia kini bermetamorfosis dalam wajah baru: korupsi massif, kebobrokan moral, dan pengkhianatan terhadap amanah rakyat yang justru dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi penjaga keadilan: para pejabat, elit politik, dan birokrat yang mengenakan jas rapi di atas hati busuk.

Hari ini, korupsi bukan lagi tindakan individu, melainkan sistem yang menggurita. Dari proyek infrastruktur fiktif hingga dana bansos yang dikorupsi di tengah kelaparan, dari mark-up alat kesehatan saat pandemi hingga penggelapan dana desa yang seharusnya mengentaskan kemiskinan, semua itu adalah bentuk kekerasan struktural yang tak kalah biadab dari kekerasan fisik 1965. Bedanya: dulu korban dibunuh dengan senjata; kini, mereka dibunuh perlahan oleh kelaparan, ketidakadilan, dan keputusasaan.

Dan ironisnya, banyak dari pelaku korupsi hari ini justru mengibarkan bendera setengah tiang dengan wajah khidmat, seolah mereka pewaris nilai luhur para "pahlawan revolusi". Mereka bicara tentang Pancasila, tapi menginjak-injak sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mereka rayakan Hari Kesaktian Pancasila, tapi lupa bahwa Pancasila lahir bukan untuk melindungi kekuasaan, melainkan melindungi rakyat dari tirani, baik tirani ideologi maupun tirani uang.

Maka, bendera setengah tiang hari ini harus punya makna yang lebih luas.
Ia bukan hanya simbol duka atas masa lalu,
tapi cermin kritik atas masa kini.

Kita berkabung bukan hanya untuk jenderal yang dibunuh,
tapi juga untuk petani yang tanahnya dirampas,
untuk buruh yang upahnya dipangkas,
untuk ibu yang anaknya tak bisa sekolah karena biaya,
untuk rakyat kecil yang suaranya tak pernah didengar.

Dan kita juga berkabung untuk bangsa ini sendiri, yang masih memuja pahlawan di atas kertas, tapi membiarkan pengkhianat nyata berpesta di kursi kekuasaan.

Namun, duka bukanlah akhir. Dari duka, lahir kebangkitan.
Generasi muda kini tak lagi diam. Mereka menolak narasi tunggal. Mereka menuntut transparansi. Mereka menggunakan media sosial bukan hanya untuk pamer, tapi untuk mengawasi, mengkritik, dan mengorganisir. Mereka tahu: keadilan tak datang dari langit, tapi dari tekanan rakyat yang sadar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline