Beberapa waktu lalu, saya membaca artikel menarik di Kompasiana karya Pak Andriyanto tentang crab mentality: istilah yang menggambarkan perilaku "menarik ke bawah" orang lain agar tak ada yang melampaui diri sendiri. Tak lama berselang, istilah ini kembali mencuat setelah anggota DPR dari Fraksi PAN, Farrel Bramasta, menyinggungnya dalam sebuah rapat parlemen. Ia menyoroti mentalitas ini sebagai penghambat kemajuan generasi muda di dunia kerja dan kehidupan sosial.
Kebetulan, pada waktu yang hampir bersamaan, Kompasiana juga mengangkat tema menulis tentang sugar coating, atau kebiasaan "melapisi kepentingan pribadi dengan kata-kata manis". Dua istilah ini, meskipun tampak berbeda, sejatinya berangkat dari akar yang sama: krisis kejujuran dan integritas.
Selanjutnya ketika keduanya tumbuh subur di ruang kerja, efeknya bukan sekadar pada suasana kantor, tapi juga pada nilai-nilai moral yang mulai pudar di tengah tuntutan profesionalisme.
Manis di Luar, Pahit di Dalam
Di banyak kantor, lembaga, maupun organisasi, sugar coating kerap menjadi jurus bertahan hidup.
Seseorang yang pandai membungkus ucapannya dengan manis sering kali dianggap lebih mudah naik pangkat atau mendapat kepercayaan pimpinan.
Padahal, tidak sedikit yang melakukan itu bukan karena loyalitas atau kepedulian, melainkan karena kepentingan pribadi.
Di depan atasan, ia bisa tampak sopan, lembut, penuh inisiatif. Tapi di balik itu, ia bisa menjadi sumber bisik-bisik yang memecah kepercayaan antar-rekan.
Fenomena ini kian terasa saat terjadi pergantian pimpinan, masa ketika orang berlomba-lomba menyesuaikan diri, bahkan sampai kehilangan jati diri.
Bagi sebagian orang, hal itu mungkin disebut strategi adaptasi. Namun bagi yang berpikir jernih, itulah awal dari hilangnya etika.
Basa-basi dan sikap hormat tentu perlu. Tapi ketika ramah berubah menjadi rekayasa, dan sopan bergeser menjadi manipulatif, di situlah garis moral dilanggar.
Di titik itu, sugar coating tak lagi sekadar bumbu sosial, melainkan racun halus yang mengikis kepercayaan dalam lingkungan kerja.
Mental Kepiting: Saat Iri Menjadi Budaya
Jika sugar coating menampilkan wajah ramah yang palsu, maka crab mentality adalah sisi lain dari cermin yang sama: wajah iri dan takut tersaingi.
Istilah ini berasal dari perilaku kepiting dalam ember: ketika satu kepiting hampir keluar, yang lain justru menariknya turun.
Dalam konteks dunia kerja, mentalitas ini tampak dalam bentuk komentar sinis terhadap rekan yang berprestasi, penolakan halus terhadap ide baru, atau upaya menjatuhkan seseorang agar posisi sendiri tampak lebih aman.
Fenomena ini bukan monopoli generasi mana pun. Ia bisa menjangkiti siapa saja, dari karyawan baru hingga pejabat lama.
Namun, di era digital yang serba cepat dan kompetitif seperti sekarang, gejalanya memang makin terlihat, terutama di kalangan muda yang berjuang meniti karier di tengah lapangan kerja yang sempit.
Alih-alih berkolaborasi, banyak yang justru terjebak dalam kompetisi semu: sibuk mempercantik citra, bukan memperbaiki kinerja.
Ketika Dua Mentalitas Bertemu