Lihat ke Halaman Asli

Abdul Muntiqom Ms.

Wirausaha / Aktivis Hukum / Akademisi

Tragedi Diam-Diam, Maraknya Bunuh Diri Akibat Tekanan Ekonomi di Tengah Ketidakpastian

Diperbarui: 27 Juli 2025   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi


Di balik gemerlap pertumbuhan teknologi dan geliat media sosial, ada realitas yang tak banyak disorot: meningkatnya kasus bunuh diri dengan latar belakang tekanan ekonomi. Fenomena ini bukan hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga melanda masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Ketidakstabilan finansial, utang menumpuk, kehilangan pekerjaan, hingga tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial, menjadi pemicu yang membawa banyak orang pada keputusan tragis: mengakhiri hidupnya sendiri.
Ekonomi yang Membunuh dalam Diam

Data menunjukkan tren peningkatan kasus bunuh diri pasca-pandemi, seiring inflasi, PHK massal, serta mahalnya biaya hidup. Bagi sebagian orang, beban hidup yang terus menggunung tak lagi tertahankan. Bahkan mereka yang terlihat baik-baik saja di permukaan, bisa menyimpan tekanan luar biasa yang tak terlihat.

Faktor-faktor utama yang berkontribusi antara lain:
- PHK dan kehilangan penghasilan utama.
- Utang konsumtif akibat gaya hidup atau terjebak pinjaman online.
- Beban keluarga dan tanggungan yang besar.
- Minimnya akses terhadap bantuan psikologis dan finansial.

Stigma dan Sunyinya Ruang Curhat

Ironisnya, di tengah penderitaan yang dialami, masih banyak masyarakat yang enggan atau malu berbicara soal tekanan ekonomi dan kesehatan mental. Stigma "gagal sebagai pencari nafkah" atau "kurang bersyukur" membuat banyak orang memilih diam, menyembunyikan derita mereka sampai pada titik terendah.

Padahal, masalah ekonomi bukan semata soal kemampuan bekerja, tapi juga soal sistem yang tidak berpihak. Harga kebutuhan pokok naik, pekerjaan sulit, sementara beban sosial semakin tinggi.

Peran Pemerintah dan Masyarakat

Kasus-kasus seperti ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah dan masyarakat luas. Program bantuan sosial, edukasi keuangan, dan akses ke layanan kesehatan mental harus diperkuat dan dipermudah. Di sisi lain, lingkungan sosial termasuk keluarga dan komunitas, harus menjadi tempat aman untuk bicara, bukan ruang yang menghakimi.

Penting juga membangun narasi bahwa meminta bantuan bukan tanda kelemahan, tetapi bentuk keberanian. Bahwa nilai hidup seseorang tidak ditentukan oleh jumlah hartanya, melainkan oleh keberadaannya yang bermakna bagi orang lain.

Menolak Menyerah, Harapan Itu Masih Ada

Bunuh diri bukan solusi. Meskipun hidup terasa berat, selalu ada jalan keluar. Banyak organisasi sosial, komunitas, dan konselor yang siap mendengarkan tanpa menghakimi. Kita hanya perlu satu langkah kecil: berani bicara, berani meminta tolong.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline