Tulisan bukan sekadar rangkaian kata. Ia adalah jendela yang membuka isi hati penulisnya. Setiap huruf, kalimat, dan tanda baca membawa jejak emosi yang mungkin tak pernah terucap lewat lisan. Di balik tulisan, ada perasaan yang bersembunyi --- entah bahagia, sedih, kecewa, atau rindu --- yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mau membaca dengan hati.
Menulis sering kali menjadi cara seseorang untuk menenangkan diri. Ketika kata-kata sulit diucapkan, pena menjadi juru bicara bagi perasaan yang terpendam. Melalui tulisan, seseorang dapat menata pikirannya, mengurai kekusutan batin, bahkan menemukan makna dari setiap kejadian dalam hidupnya. Itulah mengapa banyak orang merasa lebih lega setelah menulis --- karena tulisan adalah bentuk terapi jiwa yang sederhana namun ampuh.
Tulisan juga bisa menjadi penghubung antara manusia. Saat kita membaca karya orang lain, sering kali kita menemukan perasaan yang sama: kegelisahan, harapan, atau cinta. Di situ kita sadar, bahwa meski hidup di jalan yang berbeda, perasaan manusia ternyata universal. Tulisan menjadi jembatan yang menghubungkan hati, melampaui jarak dan waktu.
Namun, tidak semua tulisan lahir dari kebahagiaan. Ada tulisan yang tercipta dari luka. Tapi justru dari luka itulah, sering muncul karya yang paling jujur dan menyentuh. Perasaan yang tulus selalu menemukan jalannya ke atas kertas --- tanpa topeng, tanpa kepura-puraan.
Pada akhirnya, tulisan dan perasaan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Tulisan memberi bentuk pada perasaan, sementara perasaan memberi makna pada tulisan. Bersama-sama, keduanya menciptakan sesuatu yang abadi --- jejak hati manusia yang tertinggal di setiap kata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI