Malam itu, sebuah bus malam tujuan Surabaya-Jakarta berhenti di terminal kecil di pinggiran kota. Lampu-lampunya berpendar kekuningan di antara kabut tipis, seakan menandai awal perjalanan panjang melintasi Pulau Jawa. Aku naik dengan langkah pelan, menenteng tas kecil dan sebotol air mineral. Begitu masuk ke dalam bus, aroma khas kabin langsung menyambut: campuran antara parfum penumpang, pendingin ruangan, dan sedikit bau solar yang merembes dari bawah lantai.
Bus itu tidak baru, tapi terawat. Joknya empuk namun agak lusuh, warnanya biru tua dengan motif bunga-bunga samar. Di deretan kursi depan, sopir dan kenek tampak akrab bersenda gurau. Di layar kecil di atas mereka, musik lawas diputar sekadar hiburan, meski suaranya tenggelam oleh dengung mesin. Lampu kabin diredupkan, menciptakan suasana remang yang menenangkan bagi para penumpang yang mulai terlelap.
Perjalanan panjang selalu menyisakan keheningan yang aneh, antara jenuh dan tenang. Aku menatap keluar jendela, melihat bayangan pepohonan bergeser cepat dalam gelap malam.
Sekitar tengah malam, bus perlahan menepi ke sebuah rumah makan besar di pinggir jalan. Di depannya terpampang papan nama mencolok dengan lampu neon berkedip: "RM Sederhana Rasa" nama yang ironis ternyata. Dari gaya sopir memutar setir dan memarkir dengan mantap di tempat yang sama, aku bisa menebak rumah makan ini sudah jadi langganan bus lintas Jawa.
Begitu mesin dimatikan, penumpang satu per satu turun: ada yang bergegas ke toilet, ada yang menuju mushola kecil di sudut sambil menggulung lengan baju untuk berwudlu, tapi sebagian besar langsung menyerbu meja-meja makan. Aroma sayur asam, sambal, dan ikan goreng segera memenuhi udara. Aku memilih duduk di kursi dekat kasir, tempat yang agak sepi tapi strategis.
Tidak lama, sepiring nasi lauk ikan dan semangkuk sayur asam tiba di meja. Aku makan perlahan. Makanan sederhana di tengah perjalanan panjang selalu terasa berbeda dari biasanya.
Namun suasana mulai berubah saat waktu makan hampir usai. Para penumpang mulai berbaris di depan kasir untuk membayar. Dari tempat dudukku yang dekat, aku bisa mendengar dengan jelas percakapan mereka.
"Berapa, Mas?" tanya seorang bapak paruh baya sambil menyerahkan uang.
"Enam puluh delapan ribu, Pak."
"Lho, kok mahal banget? Saya cuma nasi, sayur, sama ikan."
"Udah segitu, Pak. Harga rumah makan bus memang beda," jawab kasir dengan nada datar, tanpa rasa bersalah sedikit pun.